Komunitas Sarang Matahari Penggiat Sastra (SMPS) dan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) sedang latihan musikalisasi puisi dan monolog untuk persiapan pementasan di acara Bedah Buku Mahan Jamil Hudani yang berjudul Raliatri. Acara Bedah Buku akan diselenggarakan pada hari Kamis, (17/3) pukul 15.00 s/d selesai di Resto Kampung Anggrek, Viktor, Tangerang Selatan. Di sana nanti turut hadir Ketua Dewan Kesenian Banten, Chavchay Syaifullah, Ketua Dewan Kesenian Tangsel, H. Shobir Purwanto, dan salah satu Sastrawan serta pembina KSI Pusat, Humam S. Chudori.
Komunitas Sarang Matahari Penggiat Sastra (SMPS) dan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) sedang latihan musikalisasi puisi dan monolog untuk persiapan pementasan di acara Bedah Buku Mahan Jamil Hudani yang berjudul Raliatri. Acara Bedah Buku akan diselenggarakan pada hari Kamis, (17/3) pukul 15.00 s/d selesai di Resto Kampung Anggrek, Viktor, Tangerang Selatan. Di sana nanti turut hadir Ketua Dewan Kesenian Banten, Chavchay Syaifullah, Ketua Dewan Kesenian Tangsel, H. Shobir Purwanto, dan salah satu Sastrawan serta pembina KSI Pusat, Humam S. Chudori.
Oleh :
Hadi Sastra
Matahari
baru saja menyembul di balik awan yang mengambang di ufuk langit timur. Sepoi
angin mengalun mengayun-ayunkan pepohonan. Kabut masih cukup tebal menyelimuti sekelilingku.
Embun mengerucut di pucuk rerumputan di sepanjang bantaran kali. Gemericik air
kali terdengar merdu menyejukkan kalbu. Kicau burung bersahutan menyambut pagi.
Hamparan sawah menguning. Riuh suara warga mulai meramaikan waktu. Tampak jelas
gunung menjulang tinggi di ujung tenggara. Sungguh luar biasa indahnya. Betapa
menenteramkan suasana di awal hari. Betul-betul anugerah Tuhan yang sempurna.
Aku
memulai aktivitasku. Setelah mandi, salat subuh, lalu mengeluarkan sepeda motor
dan men-starter-nya untuk memanaskan
mesinnya. Dilanjutkan merapikan perlengkapan kerja. Menyantap hidangan sekadar
pengganjal perut. Hidangan yang selalu ada di meja kerjaku. Dikirim oleh seseorang
yang setiap pagi menyempatkan diri datang ke tempatku. Seseorang yang begitu
berarti bagiku. Yang telah menjadi belahan jiwaku. Mengisi hari-hariku. Menyertai
perjalanan hidupku. Mewarnai lembaran kisahku. Selanjutnya, selesai sarapan,
aku berpamitan kepada orang itu. Dan sepeninggalanku, dia kembali ke rumahnya. Begitulah,
sekelumit rutinitas yang telah kugeluti selama sekian waktu.
Sepeda
motor melaju membawaku menerobos kabut pagi menyusuri jalanan aspal desa menuju
tempat tugasku. Sepanjang jalan, setiap warga yang berpapasan atau melihatku menyapa
dengan ramah. Keramahan itulah yang menjadi spirit dan motivasi bagiku hingga
aku semakin betah tinggal di tempat yang cukup jauh dari pusat kota ini. Tempat
yang sebetulnya bukan tanah kelahiranku. Tempat yang telah aku tinggali selama lebih
kurang tiga tahun semenjak pengabdian pertamaku sebagai seorang pendidik. Ya,
aku memang seorang pendidik atau lebih sering disebut guru. Dan karena profesi
itulah kemudian warga desa ini memanggilku Pak Guru.
Setiap
pagi selalu saja kudapati sapaan warga. Seperti, ‘Selamat pagi, Pak Guru’.
Atau, ‘Assalamu ‘alaikum, Pak Guru’. Ada juga, ‘Berangkat, Pak Guru’. Dan
siangya, sepulang mengajar, kudapati juga sapaan. Seperti, ‘Selamat siang, Pak
Guru’. Atau, ‘Pulang, Pak Guru’. Begitu hangat sapaan mereka. Penuh kesantunan.
Bersahabat.
Aku
merasakan nyaman tinggal di desa ini. Aku menemukan ketenangan dan kedamaian. Dan
menganggap desa ini lebih dari kota asalku sendiri. Ikatan batinku sudah kuat
terhadap tanah yang kupijak ini. Padahal, aku hanya tinggal mengontrak di rumah
salah satu warga. Mungkin karena suasananya yang masih asri. Atau karena
keramahan dan keluguan warganya. Mungkin juga karena memang aku tidak mau
beranjak dari sini dan mencari tempat lain. Ataukah... hm... karena alasan
lain, adanya seseorang itu. Ah... aku sendiri tak tahu pasti jawabannya.
Dulu,
tahun pertama kehadiranku di sini, membawa memori yang tak akan terlupakan. Memori
yang akan aku bawa sampai kapan pun, bahkan mungkin sampai ajal menjemputku
kelak. Aku begitu rapat menyimpannya. Aku menikmatinya setiap kali kubuka
lembar demi lembar memori manis itu.
Kala
itu, baru tiga bulan aku tinggal di sini. Kebetulan hari libur, seperti biasa
aku menyempatkan diri berolahraga atau sekadar berjalan-jalan di pagi hari.
Pelan-pelan kususuri jalanan dengan sawah di kanan-kirinya. Sesekali aku
berhenti, menikmati eloknya pemandangan. Kuperhatikan kesibukan para petani
menggarap sawahnya. Aku begitu asyik menikmatinya. Dan karena keasyikan itu,
ketika berjalan kembali, tanpa sengaja aku menabrak seseorang. Ya, seseorang.
Tepatnya, seorang gadis.
Aku
terkejut. Salah tingkah. Bahkan sempat membisu. Gadis itu pun sama. Dia bahkan
lebih salah tingkah. Terlihat sekali kekikukannya. Dan, tampak sekali
kecantikannya di balik keluguan dan kesederhanaannya. Itulah yang kemudian menjadi
magnit bagiku untuk berusaha mendekatinya. Aku tertarik untuk lebih
mengenalnya. Bahkan, bukan hanya mengenal. Aku ingin mengetahui lebih jauh
tentang dia. Betul-betul ingin mendalaminya. Akhirnya, aku berhasil mengetahui
siapa gerangan dirinya.
Aku
menjalin hubungan dengan gadis itu. Gadis yang telah menghamparkan kalbunya
untuk menerimaku. Aku menemukan pelangi di sudut matanya. Aku merasakan
kesejukan pada keanggunan wajahnya. Merasakan kehangatan pada seulas senyumnya.
Merasakan ketulusan hatinya. Menikmati kesucian cintanya. Semua itu menjadi
energi bagiku. Memompa semangatku. Ah, aku telah terpikat oleh pesonanya.
Pesona gadis bernama Hening, yang tiap pagi mengantarkan hidangan untukku.
Hidangan hasil olahan tangannya sendiri. Wanita lembut yang kemudian kupersunting.
Putri tunggal dari keluarga sederhana.
***
Baru
saja aku memarkirkan sepeda motor, tiba-tiba handphone-ku berbunyi. Kulihat siapa yang menelepon. Ternyata Hening.
“Assalamu ‘alaikum,” sapanya, begitu lembut.
“Wa ‘alaikum salam,” jawabku.
“Mas...”
suaranya terhenti. Terbaca olehku, ada sesuatu.
“Kenapa?”
tanyaku.
“Bapak,”
jawabnya dengan hati-hati.
Aku
tersentak. Mulai panik.
“Ada
apa dengan Bapak?” tanyaku mendesak.
Suara
di seberang mulai parau. Terdengar isaknya.
“Bapak
meninggal.”
“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un,” aku
lemas. Terasa kencang detak jantungku.
Aku
bergegas menemui kepala sekolah untuk meminta izin pulang. Setelah kujelaskan,
akhirnya dizinkan. Kutancap gas menuju rumah calon istriku.
Sesampainya,
kulihat kerumunan orang. Kuterobos kerumunan itu. Hening langsung menubrukku.
Kubuka
kain yang menutupi wajah calon mertuaku. Kutatap dalam-dalam, terasa olehku
pancaran ketenangan.
Kuhampiri
ibu Hening yang sangat terpukul atas kepergian Bapak. Ibu bercerita sedikit
tentang penyebab kematian Bapak. Menurutnya, Bapak ditabrak sepeda motor ketika
sedang berjalan menuju sawahnya. Dan si pengendara langsung kabur begitu
mengetahui ada warga yang mengetahui.
“Siapa
orang itu, Bu?” tanyaku penasaran. Ingin segera kuketahui siapa pelaku yang
telah merenggut nyawa Bapak. Dan akan kubuat perhitungan dengannya.
Ibu
tampak berat mengungkapkannya. Setelah terus kudesak, akhirnya terbuka juga.
Rupanya si pelaku bukan orang asing lagi. Dia masih tetangga. Aku kenal. Dia
pemuda asli desa ini. Anak kepala desa. Bernama Jarot.
Jarot
pernah menyukai Hening. Namun, pengungkapan perasaannya tak mendapat angin
segar. Hening beralasan, dia merasa tak pantas. Tak sepadan. Keadaan ekonomi keluarganya
ibarat langit dengan bumi. Orang tua Hening pun tak merestui. Hal itu
dikarenakan mereka tahu persis watak dan perilaku Jarot dan keluarganya yang
tidak baik. Perangai buruk keluarga pemimpin desa yang tak pantas diikuti warganya.
Selalu mengedepankan keduniawian. Angkuh. Serakah. Jahat. Bermoral bejat.
Rupanya
Jarot tak terima cintanya ditolak. Dia kalap. Mengancam. Segala cara akan
dilakukan demi melampiaskan dendamnya. Beberapa kali berusaha menculik Hening.
Beberapa kali pula mencoba memperkosanya. Selalu saja usahanya sia-sia. Tetapi,
dia tak patah arang. Terus saja berupaya dengan berbagai cara. Cara-cara licik.
Dan, aku menyimpulkan, mungkin itulah salah satu cara pelampiasannya. Menabrak
Bapak di pagi buta.
Segera
kuhampiri rumah Jarot. Dia tidak ada. Yang ada ayah dan ibunya. ‘Kebetulan
sekali,’ pikirku.
Kucoba
bersikap tenang menghadapi kedua orang itu. Aku sampaikan peristiwa yang
menimpa ayah Hening. Kuatur kata-kataku. Kujaga sikapku. Itu karena yang
kuhadapi adalah orang-orang terhormat di desa ini. Namun, yang kudapatkan
justru pil pahit. Mereka menyangkal. Meradang. Bahkan balik menyerangku.
Mengancam akan melaporkan kepada pihak berwajib atas tuduhan fitnah dan
pencemaran nama baik.
“Kamu
orang pendatang. Jangan bikin ulah di kampung ini,” hardik ayah Jarot, sang
kepala desa, dengan sikapnya yang arogan. Mukanya merah. Matanya melotot tajam.
Istrinya
ikut menimpali dengan ucapannya yang ketus, “Kamu tahu tidak siapa yang kamu
hadapi?” Menunjuk ke arah mukaku.
Memang
mereka setali tiga uang.
“Saya
hanya menyampaikan kebenaran,” kataku.
Kepala
desa angkuh itu memanggil tukang-tukang pukulnya.
“Pergi!”
bentaknya.
Datanglah
tiga orang tukang pukul. Mereka menyeretku. Mendorongku keluar. Dan mengusirku
layaknya binatang.
Kulihat
kepala desa makin beringas. Kembali dia mengancam akan melaporkan kepada pihak
berwajib.
Aku
tak gentar. Aku katakan bahwa aku juga akan melaporkan kasus ini. Sambil ku-starter sepeda motor.
Mereka
makin meradang. Seorang tukang pukul menghampiriku. Mencengkeram leherku.
“Kalau
mau selamat, jangan macam-macam!” ancamnya.
Aku
menuju rumah Hening. Mengurus segala sesuatunya untuk pemakaman Bapak. Di
tengah jalan, kulihat Jarot sedang nongkrong
bersama teman-temannya. Beberapa botol minuman keras di hadapan mereka. Kuparkir
sepeda motor. Kuhampiri dia.
Jarot
yang sudah melihat kedatanganku, bersiap-siap. Kuperhatikan dia berbicara lirih
kepada teman-temannya. Kontan mereka memasang kuda-kuda.
“Ngapain kamu ke sini!” bentaknya. Mendekatiku.
Terpancing
juga emosiku. Namun aku mencoba untuk tenang.
Teman-teman
Jarot mengerubungiku. Salah seorang berkata kasar, “Mau jadi jagoan?!”
Aku
masih diam. Mencoba mengatur napas.
Tiba-tiba
sebuah bogem mentah Jarot mendarat di pipiku. Aku sedikit terdorong ke
belakang. Seorang dari mereka menendang sepeda motorku hingga terguling.
“Keterlaluan,”
kataku geram. Kukepalkan tanganku untuk membalasnya.
Dan
sebuah pukulan melayang, tepat mengenai pipi kiri Jarot. Dia terhuyung.
Teman-teman
Jarot mengeroyokku. Para preman kampung itu dengan ganas menyerangku. Aku
terdesak. Beberapa pukulan kuarahkan kepada mereka. Tenaga kukerahkan untuk
membentengi diri. Akan tetapi, tenagaku kalah kuat dengan tenaga mereka.
Akhirnya aku pasrah. Aku tersungkur. Terus saja mereka menyerangku. Menghajarku.
Menginjak-injakku. Sebuah balok menghantam keras wajahku. Darah mengucur dari
hidung dan beberapa bagian tubuhku.
Aku
tak sadarkan diri. Beberapa warga menolongku. Dan selanjutnya, yang kutahu, aku
sudah berada di tempat tidur. Hening berada di sampingku. Matanya bengkak menahan
isak tangis.
“Mas,”
katanya begitu melihat aku mulai siuman.
Kucoba
meraih wajah Hening. Namun tanganku terasa berat. Aku tak dapat berbuat banyak.
Yang kubisa hanya menatapnya. Sambil menahan sakit di sekujur tubuh. Kulihat duka
begitu dalam. Duka yang menyiratkan perjuangan dan pengorbanan.
Hening
mengusap air mata yang mulai keluar dari sudut mataku. Sambil mengobati
luka-lukaku. Mengelus-elus lembut pipiku yang lebam. Betapa kurasakan
kesejukan. Kehalusannya tetap terpancar di balik kepedihan. Kami bergelayut dalam
kemelut. Nuansa haru menyelinap ke relung kalbu. Dua insan berbalut romansa biru.
***
Laporanku kepada kepolisian
ditindaklanjuti. Sebuah mobil patroli menuju rumah Jarot. Kebetulan dia ada. Bersama
gerombolannya, para pecundang tengik. Kontan saja warga mengerumuni.
Melihat kedatangan polisi,
gerombolan itu berantakan. Berhamburan menyelamatkan diri. Memang mereka
pecundang tengik. Betul-betul tengik. Pengecut.
Tinggal
Jarot, terpaku seorang diri.
Keluarga
Jarot keluar. Setelah terjadi adu argumen antara polisi dan mereka, akhirnya
polisi berhasil membawa Jarot.
Tak berapa lama, dua orang suruhan
keluarga Jarot menemuiku di sekolah. Kebetulan aku sedang berada di dalam
kelas. Mereka memaksaku keluar. Dan tanpa basa-basi lagi, mereka memukuliku di
depan anak didikku. Mendadak suasana kacau-balau. Anak-anak didikku histeris.
Kepala sekolah dan rekan-rekan guru, termasuk anak-anak didik yang lain berhamburan
menghampiriku.
Mereka bergegas kabur.
Kukontak Hening. Dia syok. Rupanya,
dia pun mengalami masalah yang hampir sama. Beberapa menit yang lalu,
orang-orang bayaran keluarga Jarot datang. Hening dan ibunya langsung
menyelamatkan diri ke rumah Pak Kyai. Amanlah mereka di sana. Karena orang-orang
itu balik lagi. Tak berani menghadapi kyai. Tak ada yang berani melawan kyai,
termasuk kepala desa sendiri. Kyai begitu disegani warga desa. Kewibawaan kyai selalu
dijaga.
“Kalian tidak usah takut. Kami akan
menjaga kalian,” ucap Pak Kyai, membawa angin segar.
Hening dan Ibu gemetar. Saling
berangkulan. Wajah mereka pucat pasi.
Pihak sekolah segera bertindak. Memproses
kasus yang menimpaku. Melaporkan kepada pihak atasan, Dinas Pendidikan. Melaporkan
kepada polisi. Wartawan diundang.
Utusan
Dinas Pendidikan dan wartawan datang. Disusul polisi. Mereka menginterogasiku.
Polisi
menyampaikan bahwa mereka telah menangkap Jarot. Dan akan segera menangkap
orang tuanya. Mereka melaju menuju rumah Jarot.
Aku
diizinkan pulang ditemani seorang rekan guru. Yang kutuju adalah rumah Pak
Kyai. Perasaanku tidak karuan. Ingin segera bertemu Hening dan Ibu. Setibanya,
Hening memelukku. Hening begitu ketakutan. Begitu pun Ibu.
Pak
Kyai menenangkan kami. Beliau berjanji akan melindungi kami. Selama beberapa
hari Hening dan Ibu akan tinggal di rumah beliau. Istri Pak Kyai akan turut
serta menjaga. Aku sungguh terbantu dengan ketulusan mereka. Aku diberi
pilihan, apakah tinggal di situ atau tetap di rumahku. Dan kupilih untuk tetap
tinggal di rumah. Namun, sesekali aku datang menjenguk Hening dan Ibu.
***
Seorang tetangga, wanita setengah
baya, bergegas menghampiriku ketika baru saja kumatikan sepeda motor.
“Aduh,
Pak Guru,” katanya dengan napas tersengal-sengal.
“Ada
apa, Bu?”
“Lebih
baik Pak Guru pergi dulu.”
Aku
menangkap firasat tidak baik.
“Tadi
orang-orang Pak Kades ke sini. Mereka mengacak-acak rumah Bapak. Bahkan mau
membakar,” katanya lagi, “Mereka bilang akan datang lagi.”
“Untung
warga datang,” sambungnya.
Memang
aku melihat kondisi rumahku sudah berantakan. Pintu jebol. Kaca depan pecah. Seisi
rumah berantakan.
Para
tetangga berdatangan. Sebagian membereskan rumahku. Sebagian lain mencoba
menenangkanku. Memapah dan mendudukkanku.
Aku
begitu emosi. Darah mudaku kembali memuncak. Wajahku memerah menahan amarah
yang luar biasa.
Pak
Kyai datang. Beliau juga geram. Mengutuk perbuatan keji itu. Ulah keluarga
kepala desa yang busuk.
Hening
meneleponku. Mengabarkan berita buruk. Beberapa saat yang lalu Ibu mendadak
jatuh. Segera dilarikan ke rumah sakit menggunakan mobil salah seorang warga.
Maklumlah, desa ini cukup terpencil. Tak ada puskesmas, apalagi rumah sakit.
Sehingga tak mudah untuk mendapatkan akses kesehatan. Puskesmas terdekat berada
di kota kecamatan yang jaraknya cukup jauh, lebih kurang sepuluh kilometer.
Jika menunggu mobil ambulance datang, bisa memakan waktu lama. Bisa-bisa malah membuat
kondisi makin buruk.
Hening
dan istri Pak Kyai turut mengantar ke rumah sakit.
Aku
menenangkan Hening. Tak kuceritakan keadaanku yang sebenarnya. Bukan tanpa
alasan, aku khawatir justru akan membuat suasana makin runyam.
“Kamu
temani Ibu, nanti aku menyusul,” ucapku.
Selanjutnya, aku dan Pak Kyai segera menuju
rumah sakit. Beberapa tetangga ikut serta. Namun, tak berapa lama, Hening
kembali menelepon. Mengabarkan berita yang makin buruk. Kondisi Ibu makin
kritis. Napasnya tak terasa. Detak jantungnya tak terdengar lagi. Dan nadinya
tak menunjukkan kehidupan.
Tetangga
yang menyetir makin mengencangkan laju mobil. Dia cemas, jangan sampai nyawa
Ibu tak tertolong. Hening semakin gelisah. Air matanya kian deras membanjiri
pipinya. Dia berusaha menyelamatkan ibunya. Akan tetapi, kehendak Tuhan berkata
lain. Perjalanan jauh ditambah kondisi jalan yang tak mulus ikut mempengaruhi
kondisi. Dan akhirnya, nyawa Ibu benar-benar tak terselamatkan lagi.
Hening
menjerit tinggi. Istri Pak Kyai ikut lemas. Sang sopir pun lemas.
Spontan
Hening mengabarkan kepadaku. Begitu mendengar berita itu, aku gundah gulana. Lunglai
sekujur tubuhku.
Setiba
di rumah sakit, Hening meraih tubuhku. Meledak tangisnya. Hancur perasaannya. Lalu
pingsan di bahuku. Aku membopongnya. Berteriak-teriak memanggil petugas rumah
sakit.
Suasana
kacau. Jenazah Ibu didorong ke kamar mayat. Sementara aku masih menyadarkan
Hening. Pak Kyai mengurus administrasi rumah sakit. Tetangga mengabarkan kepada
para tetangga lain untuk menyiapkan segala sesuatunya menyambut jenazah Ibu.
Sesaat
kemudian, Hening siuman. Dia kembali meronta, memanggil-manggil ibunya. Aku
mendekap erat tubuhnya. Berusaha menyadarkan dan menenangkannya. Kucoba
kalahkan tenaga Hening yang kalap. Akhirnya dia melemah. Lalu, tertidur pulas.
***
Seisi desa gempar menyaksikan sang
kepala desa beserta istri digiring polisi. Hiruk-pikuk suara warga menyoraki. Mereka
merasa puas. Merasa menang. Ketenangan dan ketenteraman sebentar lagi mewarnai
kehidupan desa. Ya, kehidupan desa, yang jauh dari kota.
Hadi
Sastra
2014
Dimuat di surat kabar Cakrawala, Makassar Sulsel, edisi Sabtu (4/10).
13.50.00
oleh: Tika D. Pangastuti
Taman
Baca Anak Matahari (TBAM) Setu-Tangsel ini baru ada pada januari 2014. Taman
baca yang diperuntukan untuk anak dan remaja ini mulai diminati keberadaannya
yang menyatu dengan alam. Bukan tanpa alasan, kampung Setu, yang asri
dikelilingi pohon-pohon rindang ditengah perkampungan yang juga dibatasi oleh
sebuah anak sungai, yang mendorong taman baca ini diminati keberadaannya.
Awalnya
taman baca ini hanya memiliki koleksi beberapa buku saja. Pembuatan saung untuk
meletakkan buku-buku dilakukan secara gotong royong dengan alat-alat seadanya.
Kemudian adanya kegiatan secara rutin mendorong masyarakat semakin mengetahui
keberadaan taman baca anak matahari ini. Lalu beberapa ada yang memberikan
sumbangan buku-buku maupun alat tulis secara sukarela.
Beberapa
kegiatan yang sudah dilakukan TBAM, antara lain: Belajar sablon, belajar
angklung, berkemah, seminar motivasi, mengenalkan permainan tradisional, dan
masih banyak lagi. Tidak hanya berkumpul di sinipun turut menanamkan
nilai-nilai gotong royong dalam kesederhanaan. Seperti membersihkan lingkungan
yang disekitar taman baca, musyawarah dalam menentukan kegiatan apa yang harus
dilakukan, dan membuat saung secara gotong-royong.
Tentu
kita belajar dari potret taman baca anak matahari (TBAM) Setu ini dengan
kebersamaan dalam kesederhanaan, berusaha belajar dengan kesadaran berkelompok
dan tanggung jawab.
Bagi
yang ingin berkontribusi menyumbangkan buku-buku, alat tulis, berbagi ide-ide
kratif dan yang bersedia membagi pikiran-pikirannya, langsung datang ke Jl.
Puspitek Raya Kp. Setu Gg Masjid Rt 17/04 No. 35 kel. Setu Kec. Setu
Tangsel-Banten 15314. Atau hubungi Shandy (083-898-729-909) pin 76396E1A. dapat
diakses twitter: @tba_matahari. Facebook: Taman Baca Anak Matahari.
14.05.00
Oleh HADI SASTRA
Menulis merupakan kegiatan mengemukakan gagasan
secara tertulis. Sebuah
tulisan pada hakikatnya adalah representasi bunyi-bunyi bahasa dalam bentuk
visual menurut sistem ortografi tertentu.
Banyak aspek bahasa lisan seperti nada, tekanan irama serta beberapa
aspek lainya tidak dapat direpresentasikan dalam tulisan. Begitu juga halnya
dengan aspek fisik, seperti gerak tangan, tubuh, kepala, wajah, yang mengiringi
bahasa lisan tidak dapat diwujudkan dalam bahasa tulis. Oleh karena itu, dalam
mengemukakan gagasan secara tertulis bisa menggunakan bentuk
tertentu. Betuk-bentuk tersebut secara umum dapat dikembangkan dalam empat bentuk, yaitu: narasi,
ekposisisi, deskripsi, dan argumentasi.
Dalam hal ini penulis mencoba untuk menguraikan sedikit tentang tulisan berbentuk narasi.
Narasi
Tulisan
narasi (berasal dari naration berarti bercerita) adalah suatu bentuk tulisan
yang berusaha menciptakan, mengisahkan, dan merangkaikan tindak tanduk
perbuatan manusia dalam sebuah peristiwa secara kronologis atau
berlangsung dalam suatu kesatuan waktu.
Narasi bertujuan menyampaikan gagasan dalam urutan waktu dengan maksud
menghadirkan di depan mata angan-angan pembaca serentetan peristiwa yang
biasanya memuncak pada kejadian utama.
Narasi merupakan betuk percakapan atau tulisan yang bertujuan menyampaikan atau
menceritakan rangkaian peristiwa atau pengalaman manusia dari waktu ke waktu.
Menurut Keraf (1987:136), tulisan narasi merupakan suatu bentuk karangan yang sasaran
utamanya adalah tindak tanduk yang dijalin dan dirangkai menjadi sebuah peristiwa
yang terjadi dalam suatu kesatuan waktu. Atau dapat juga dirumuskan dengan cara
lain; narasi adalah suatu bentuk karangan yang berusaha mengambarkan
sejelas-jelasnya kepada pembaca suatu peristiwa yang telah terjadi.
Secara sederhana narasi
merupakan cerita. Pada narasi terdapat peristiwa atau kejadian dalam suatu
urutan waktu. Di dalam kejadian itu ada pula tokoh yang menghadapi suatu
konflik.
Menurut Keraf (1982:3), tulisan
narasi merupakan salah satu tulisan yang dapat dijadikan alat untuk
menyampaikan pangetahuan atau informasi kepada orang lain.
Narasi melakukan penambahan ilmu pengetahuan melalui jalan cerita, bagaimana
suatu peristiwa itu berlangsung. Karena lebih menekankan jalannya peristiwa,
reproduksi masa silam merupakan bidang utama sebuah narasi. Seseorang dapat
menginformasikan sesuatu kejadian atau peristiwa pada orang lain dengan latar belakang kejadian yang nyata
maupun rekaan.
Dalam
menulis, seorang penulis dituntut mampu membedakan antara narasi dan deskripsi. Narasi
mempunyai kesamaan dengan deskripsi, yang membedakannya adalah narasi
mengandung imajinasi dan peristiwa atau pengalaman lebih ditekankan pada urutan
kronologis. Sedangkan deskripsi, unsur imajinasinya terbatas pada penekanan
organisasi penyampaian pada susunan ruang sebagai mana yang diamati, dirasakan,
dan didengar. Oleh karena itu, perlu diperhatikan unsur latar, baik
unsur waktu maupun unsur tempat. Dengan
kata lain, pengertian narasi itu mencakup dua unsur, yaitu perbuatan dan
tindakan yang terjadi dalam suatu rangkaian waktu.
Ciri-Ciri Tulisan Narasi
Setiap tulisan mempunyai ciri tertentu. Adapun ciri-ciri tulisan narasi, yaitu:
1) berupa cerita tentang pengalaman manusia;
2) kejadian atau peristiwa yang disampaikan dapat
berupa peristiwa atau kejadian yang benar-benar terjadi, dapat pula berupa
semata-semata imajinasi, atau gabungan keduanya;
3) bedasarkan konflik. karena, tanpa konflik
biasanya narasi tidak menarik;
4) memiliki nilai estetika karena isi dan
cara penyampainya bersifat sastra, khususnya narasi berbentuk fiksi;
5) menekankan susunan kronologis (catatan:
deskripsi menekankan susunan ruang); dan
Tulisan
narasi bisa berisi fakta bisa pula berisi fiksi atau rekaan yang direka atau
dikhayalkan oleh penulisnya. Narasi yang berisi fakta adalah biografi,
otobiografi, kisah sejati, dan lain-lain. Sedangakan narasi yang berisi fiksi
seperti novel, cerpen, dan cerita bergambar.
Selain itu, menurut Semi (2003:31), narasi juga dibagi atas dua jenis, yaitu:
a. narasi informatif,
yang sering disebut pula narasi ekspositoris, yang pada dasarnya
berkencenderungan sebagai bentuk ekposisi yang berkecenderungan memaparkan
informasi
dengan bahasa yang lugas dan konfliknya tidak terlalu kelihatan.
b. narasi artistik, narasi ini umumnya berupa cerpen atau novel.
Sumber :
Semi, M. Atar. 2003. Menulis Efektif. Padang: Angkasa Raya
Keraf,
Gorys. 1987. Argumentasi dan Narasi.
Jakarta: PT Gramedia.
. 1982. Ekposisi dan Deskripsi. Cetakan Kedua. Jakarta: Nusa Indah.
Semi, M. Atar. 2003. Menulis Efektif. Padang: Angkasa Raya
10.59.00