Komunitas Sarang Matahari Penggiat Sastra (SMPS) dan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) sedang latihan musikalisasi puisi dan monolog untuk persiapan pementasan di acara Bedah Buku Mahan Jamil Hudani yang berjudul Raliatri. Acara Bedah Buku akan diselenggarakan pada hari Kamis, (17/3) pukul 15.00 s/d selesai di Resto Kampung Anggrek, Viktor, Tangerang Selatan. Di sana nanti turut hadir Ketua Dewan Kesenian Banten, Chavchay Syaifullah, Ketua Dewan Kesenian Tangsel, H. Shobir Purwanto, dan salah satu Sastrawan serta pembina KSI Pusat, Humam S. Chudori.














Oleh :
Hadi Sastra

Sumber: Google

Matahari baru saja menyembul di balik awan yang mengambang di ufuk langit timur. Sepoi angin mengalun mengayun-ayunkan pepohonan. Kabut masih cukup tebal menyelimuti sekelilingku. Embun mengerucut di pucuk rerumputan di sepanjang bantaran kali. Gemericik air kali terdengar merdu menyejukkan kalbu. Kicau burung bersahutan menyambut pagi. Hamparan sawah menguning. Riuh suara warga mulai meramaikan waktu. Tampak jelas gunung menjulang tinggi di ujung tenggara. Sungguh luar biasa indahnya. Betapa menenteramkan suasana di awal hari. Betul-betul anugerah Tuhan yang sempurna.
Aku memulai aktivitasku. Setelah mandi, salat subuh, lalu mengeluarkan sepeda motor dan men-starter-nya untuk memanaskan mesinnya. Dilanjutkan merapikan perlengkapan kerja. Menyantap hidangan sekadar pengganjal perut. Hidangan yang selalu ada di meja kerjaku. Dikirim oleh seseorang yang setiap pagi menyempatkan diri datang ke tempatku. Seseorang yang begitu berarti bagiku. Yang telah menjadi belahan jiwaku. Mengisi hari-hariku. Menyertai perjalanan hidupku. Mewarnai lembaran kisahku. Selanjutnya, selesai sarapan, aku berpamitan kepada orang itu. Dan sepeninggalanku, dia kembali ke rumahnya. Begitulah, sekelumit rutinitas yang telah kugeluti selama sekian waktu.
Sepeda motor melaju membawaku menerobos kabut pagi menyusuri jalanan aspal desa menuju tempat tugasku. Sepanjang jalan, setiap warga yang berpapasan atau melihatku menyapa dengan ramah. Keramahan itulah yang menjadi spirit dan motivasi bagiku hingga aku semakin betah tinggal di tempat yang cukup jauh dari pusat kota ini. Tempat yang sebetulnya bukan tanah kelahiranku. Tempat yang telah aku tinggali selama lebih kurang tiga tahun semenjak pengabdian pertamaku sebagai seorang pendidik. Ya, aku memang seorang pendidik atau lebih sering disebut guru. Dan karena profesi itulah kemudian warga desa ini memanggilku Pak Guru.
Setiap pagi selalu saja kudapati sapaan warga. Seperti, ‘Selamat pagi, Pak Guru’. Atau, ‘Assalamu ‘alaikum, Pak Guru’. Ada juga, ‘Berangkat, Pak Guru’. Dan siangya, sepulang mengajar, kudapati juga sapaan. Seperti, ‘Selamat siang, Pak Guru’. Atau, ‘Pulang, Pak Guru’. Begitu hangat sapaan mereka. Penuh kesantunan. Bersahabat.
Aku merasakan nyaman tinggal di desa ini. Aku menemukan ketenangan dan kedamaian. Dan menganggap desa ini lebih dari kota asalku sendiri. Ikatan batinku sudah kuat terhadap tanah yang kupijak ini. Padahal, aku hanya tinggal mengontrak di rumah salah satu warga. Mungkin karena suasananya yang masih asri. Atau karena keramahan dan keluguan warganya. Mungkin juga karena memang aku tidak mau beranjak dari sini dan mencari tempat lain. Ataukah... hm... karena alasan lain, adanya seseorang itu. Ah... aku sendiri tak tahu pasti jawabannya.
Dulu, tahun pertama kehadiranku di sini, membawa memori yang tak akan terlupakan. Memori yang akan aku bawa sampai kapan pun, bahkan mungkin sampai ajal menjemputku kelak. Aku begitu rapat menyimpannya. Aku menikmatinya setiap kali kubuka lembar demi lembar memori manis itu. 
Kala itu, baru tiga bulan aku tinggal di sini. Kebetulan hari libur, seperti biasa aku menyempatkan diri berolahraga atau sekadar berjalan-jalan di pagi hari. Pelan-pelan kususuri jalanan dengan sawah di kanan-kirinya. Sesekali aku berhenti, menikmati eloknya pemandangan. Kuperhatikan kesibukan para petani menggarap sawahnya. Aku begitu asyik menikmatinya. Dan karena keasyikan itu, ketika berjalan kembali, tanpa sengaja aku menabrak seseorang. Ya, seseorang. Tepatnya, seorang gadis.
Aku terkejut. Salah tingkah. Bahkan sempat membisu. Gadis itu pun sama. Dia bahkan lebih salah tingkah. Terlihat sekali kekikukannya. Dan, tampak sekali kecantikannya di balik keluguan dan kesederhanaannya. Itulah yang kemudian menjadi magnit bagiku untuk berusaha mendekatinya. Aku tertarik untuk lebih mengenalnya. Bahkan, bukan hanya mengenal. Aku ingin mengetahui lebih jauh tentang dia. Betul-betul ingin mendalaminya. Akhirnya, aku berhasil mengetahui siapa gerangan dirinya.
Aku menjalin hubungan dengan gadis itu. Gadis yang telah menghamparkan kalbunya untuk menerimaku. Aku menemukan pelangi di sudut matanya. Aku merasakan kesejukan pada keanggunan wajahnya. Merasakan kehangatan pada seulas senyumnya. Merasakan ketulusan hatinya. Menikmati kesucian cintanya. Semua itu menjadi energi bagiku. Memompa semangatku. Ah, aku telah terpikat oleh pesonanya. Pesona gadis bernama Hening, yang tiap pagi mengantarkan hidangan untukku. Hidangan hasil olahan tangannya sendiri. Wanita lembut yang kemudian kupersunting. Putri tunggal dari keluarga sederhana. 
***
            Baru saja aku memarkirkan sepeda motor, tiba-tiba handphone-ku berbunyi. Kulihat siapa yang menelepon. Ternyata Hening.
Assalamu ‘alaikum,” sapanya, begitu lembut.
Wa ‘alaikum salam,” jawabku.   
“Mas...” suaranya terhenti. Terbaca olehku, ada sesuatu.
“Kenapa?” tanyaku.
“Bapak,” jawabnya dengan hati-hati.
Aku tersentak. Mulai panik.
“Ada apa dengan Bapak?” tanyaku mendesak.
Suara di seberang mulai parau. Terdengar isaknya.
“Bapak meninggal.”
Innalillahi wa inna ilaihi raji’un,” aku lemas. Terasa kencang detak jantungku.
Aku bergegas menemui kepala sekolah untuk meminta izin pulang. Setelah kujelaskan, akhirnya dizinkan. Kutancap gas menuju rumah calon istriku.
Sesampainya, kulihat kerumunan orang. Kuterobos kerumunan itu. Hening langsung menubrukku.
Kubuka kain yang menutupi wajah calon mertuaku. Kutatap dalam-dalam, terasa olehku pancaran ketenangan.
Kuhampiri ibu Hening yang sangat terpukul atas kepergian Bapak. Ibu bercerita sedikit tentang penyebab kematian Bapak. Menurutnya, Bapak ditabrak sepeda motor ketika sedang berjalan menuju sawahnya. Dan si pengendara langsung kabur begitu mengetahui ada warga yang mengetahui.
“Siapa orang itu, Bu?” tanyaku penasaran. Ingin segera kuketahui siapa pelaku yang telah merenggut nyawa Bapak. Dan akan kubuat perhitungan dengannya.
Ibu tampak berat mengungkapkannya. Setelah terus kudesak, akhirnya terbuka juga. Rupanya si pelaku bukan orang asing lagi. Dia masih tetangga. Aku kenal. Dia pemuda asli desa ini. Anak kepala desa. Bernama Jarot.
Jarot pernah menyukai Hening. Namun, pengungkapan perasaannya tak mendapat angin segar. Hening beralasan, dia merasa tak pantas. Tak sepadan. Keadaan ekonomi keluarganya ibarat langit dengan bumi. Orang tua Hening pun tak merestui. Hal itu dikarenakan mereka tahu persis watak dan perilaku Jarot dan keluarganya yang tidak baik. Perangai buruk keluarga pemimpin desa yang tak pantas diikuti warganya. Selalu mengedepankan keduniawian. Angkuh. Serakah. Jahat. Bermoral bejat.
Rupanya Jarot tak terima cintanya ditolak. Dia kalap. Mengancam. Segala cara akan dilakukan demi melampiaskan dendamnya. Beberapa kali berusaha menculik Hening. Beberapa kali pula mencoba memperkosanya. Selalu saja usahanya sia-sia. Tetapi, dia tak patah arang. Terus saja berupaya dengan berbagai cara. Cara-cara licik. Dan, aku menyimpulkan, mungkin itulah salah satu cara pelampiasannya. Menabrak Bapak di pagi buta.
Segera kuhampiri rumah Jarot. Dia tidak ada. Yang ada ayah dan ibunya. ‘Kebetulan sekali,’ pikirku.
Kucoba bersikap tenang menghadapi kedua orang itu. Aku sampaikan peristiwa yang menimpa ayah Hening. Kuatur kata-kataku. Kujaga sikapku. Itu karena yang kuhadapi adalah orang-orang terhormat di desa ini. Namun, yang kudapatkan justru pil pahit. Mereka menyangkal. Meradang. Bahkan balik menyerangku. Mengancam akan melaporkan kepada pihak berwajib atas tuduhan fitnah dan pencemaran nama baik.
“Kamu orang pendatang. Jangan bikin ulah di kampung ini,” hardik ayah Jarot, sang kepala desa, dengan sikapnya yang arogan. Mukanya merah. Matanya melotot tajam.
Istrinya ikut menimpali dengan ucapannya yang ketus, “Kamu tahu tidak siapa yang kamu hadapi?” Menunjuk ke arah mukaku.
Memang mereka setali tiga uang.
“Saya hanya menyampaikan kebenaran,” kataku.
Kepala desa angkuh itu memanggil tukang-tukang pukulnya.
“Pergi!” bentaknya.
Datanglah tiga orang tukang pukul. Mereka menyeretku. Mendorongku keluar. Dan mengusirku layaknya binatang.
Kulihat kepala desa makin beringas. Kembali dia mengancam akan melaporkan kepada pihak berwajib.
Aku tak gentar. Aku katakan bahwa aku juga akan melaporkan kasus ini. Sambil ku-starter sepeda motor.
Mereka makin meradang. Seorang tukang pukul menghampiriku. Mencengkeram leherku.
“Kalau mau selamat, jangan macam-macam!” ancamnya.
Aku menuju rumah Hening. Mengurus segala sesuatunya untuk pemakaman Bapak. Di tengah jalan, kulihat Jarot sedang nongkrong bersama teman-temannya. Beberapa botol minuman keras di hadapan mereka. Kuparkir sepeda motor. Kuhampiri dia.
Jarot yang sudah melihat kedatanganku, bersiap-siap. Kuperhatikan dia berbicara lirih kepada teman-temannya. Kontan mereka memasang kuda-kuda.
Ngapain kamu ke sini!” bentaknya. Mendekatiku.
Terpancing juga emosiku. Namun aku mencoba untuk tenang.
Teman-teman Jarot mengerubungiku. Salah seorang berkata kasar, “Mau jadi jagoan?!”
Aku masih diam. Mencoba mengatur napas.
Tiba-tiba sebuah bogem mentah Jarot mendarat di pipiku. Aku sedikit terdorong ke belakang. Seorang dari mereka menendang sepeda motorku hingga terguling.
“Keterlaluan,” kataku geram. Kukepalkan tanganku untuk membalasnya.
Dan sebuah pukulan melayang, tepat mengenai pipi kiri Jarot. Dia terhuyung.
Teman-teman Jarot mengeroyokku. Para preman kampung itu dengan ganas menyerangku. Aku terdesak. Beberapa pukulan kuarahkan kepada mereka. Tenaga kukerahkan untuk membentengi diri. Akan tetapi, tenagaku kalah kuat dengan tenaga mereka. Akhirnya aku pasrah. Aku tersungkur. Terus saja mereka menyerangku. Menghajarku. Menginjak-injakku. Sebuah balok menghantam keras wajahku. Darah mengucur dari hidung dan beberapa bagian tubuhku.
Aku tak sadarkan diri. Beberapa warga menolongku. Dan selanjutnya, yang kutahu, aku sudah berada di tempat tidur. Hening berada di sampingku. Matanya bengkak menahan isak tangis.
“Mas,” katanya begitu melihat aku mulai siuman.
Kucoba meraih wajah Hening. Namun tanganku terasa berat. Aku tak dapat berbuat banyak. Yang kubisa hanya menatapnya. Sambil menahan sakit di sekujur tubuh. Kulihat duka begitu dalam. Duka yang menyiratkan perjuangan dan pengorbanan.
Hening mengusap air mata yang mulai keluar dari sudut mataku. Sambil mengobati luka-lukaku. Mengelus-elus lembut pipiku yang lebam. Betapa kurasakan kesejukan. Kehalusannya tetap terpancar di balik kepedihan. Kami bergelayut dalam kemelut. Nuansa haru menyelinap ke relung kalbu. Dua insan berbalut romansa biru. 
***
            Laporanku kepada kepolisian ditindaklanjuti. Sebuah mobil patroli menuju rumah Jarot. Kebetulan dia ada. Bersama gerombolannya, para pecundang tengik. Kontan saja warga mengerumuni.
            Melihat kedatangan polisi, gerombolan itu berantakan. Berhamburan menyelamatkan diri. Memang mereka pecundang tengik. Betul-betul tengik. Pengecut.
Tinggal Jarot, terpaku seorang diri.
Keluarga Jarot keluar. Setelah terjadi adu argumen antara polisi dan mereka, akhirnya polisi berhasil membawa Jarot.
            Tak berapa lama, dua orang suruhan keluarga Jarot menemuiku di sekolah. Kebetulan aku sedang berada di dalam kelas. Mereka memaksaku keluar. Dan tanpa basa-basi lagi, mereka memukuliku di depan anak didikku. Mendadak suasana kacau-balau. Anak-anak didikku histeris. Kepala sekolah dan rekan-rekan guru, termasuk anak-anak didik yang lain berhamburan menghampiriku.  
            Mereka bergegas kabur.
            Kukontak Hening. Dia syok. Rupanya, dia pun mengalami masalah yang hampir sama. Beberapa menit yang lalu, orang-orang bayaran keluarga Jarot datang. Hening dan ibunya langsung menyelamatkan diri ke rumah Pak Kyai. Amanlah mereka di sana. Karena orang-orang itu balik lagi. Tak berani menghadapi kyai. Tak ada yang berani melawan kyai, termasuk kepala desa sendiri. Kyai begitu disegani warga desa. Kewibawaan kyai selalu dijaga.
            “Kalian tidak usah takut. Kami akan menjaga kalian,” ucap Pak Kyai, membawa angin segar.
            Hening dan Ibu gemetar. Saling berangkulan. Wajah mereka pucat pasi.
 Pihak sekolah segera bertindak. Memproses kasus yang menimpaku. Melaporkan kepada pihak atasan, Dinas Pendidikan. Melaporkan kepada polisi. Wartawan diundang.
Utusan Dinas Pendidikan dan wartawan datang. Disusul polisi. Mereka menginterogasiku.
Polisi menyampaikan bahwa mereka telah menangkap Jarot. Dan akan segera menangkap orang tuanya. Mereka melaju menuju rumah Jarot.
Aku diizinkan pulang ditemani seorang rekan guru. Yang kutuju adalah rumah Pak Kyai. Perasaanku tidak karuan. Ingin segera bertemu Hening dan Ibu. Setibanya, Hening memelukku. Hening begitu ketakutan. Begitu pun Ibu.
Pak Kyai menenangkan kami. Beliau berjanji akan melindungi kami. Selama beberapa hari Hening dan Ibu akan tinggal di rumah beliau. Istri Pak Kyai akan turut serta menjaga. Aku sungguh terbantu dengan ketulusan mereka. Aku diberi pilihan, apakah tinggal di situ atau tetap di rumahku. Dan kupilih untuk tetap tinggal di rumah. Namun, sesekali aku datang menjenguk Hening dan Ibu.
***
            Seorang tetangga, wanita setengah baya, bergegas menghampiriku ketika baru saja kumatikan sepeda motor.
“Aduh, Pak Guru,” katanya dengan napas tersengal-sengal.
“Ada apa, Bu?”
“Lebih baik Pak Guru pergi dulu.”
Aku menangkap firasat tidak baik.
“Tadi orang-orang Pak Kades ke sini. Mereka mengacak-acak rumah Bapak. Bahkan mau membakar,” katanya lagi, “Mereka bilang akan datang lagi.”
“Untung warga datang,” sambungnya.
Memang aku melihat kondisi rumahku sudah berantakan. Pintu jebol. Kaca depan pecah. Seisi rumah berantakan.
Para tetangga berdatangan. Sebagian membereskan rumahku. Sebagian lain mencoba menenangkanku. Memapah dan mendudukkanku.
Aku begitu emosi. Darah mudaku kembali memuncak. Wajahku memerah menahan amarah yang luar biasa.
Pak Kyai datang. Beliau juga geram. Mengutuk perbuatan keji itu. Ulah keluarga kepala desa yang busuk. 
Hening meneleponku. Mengabarkan berita buruk. Beberapa saat yang lalu Ibu mendadak jatuh. Segera dilarikan ke rumah sakit menggunakan mobil salah seorang warga. Maklumlah, desa ini cukup terpencil. Tak ada puskesmas, apalagi rumah sakit. Sehingga tak mudah untuk mendapatkan akses kesehatan. Puskesmas terdekat berada di kota kecamatan yang jaraknya cukup jauh, lebih kurang sepuluh kilometer. Jika menunggu mobil ambulance datang, bisa memakan waktu lama. Bisa-bisa malah membuat kondisi makin buruk.
Hening dan istri Pak Kyai turut mengantar ke rumah sakit.
Aku menenangkan Hening. Tak kuceritakan keadaanku yang sebenarnya. Bukan tanpa alasan, aku khawatir justru akan membuat suasana makin runyam.
“Kamu temani Ibu, nanti aku menyusul,” ucapku.
 Selanjutnya, aku dan Pak Kyai segera menuju rumah sakit. Beberapa tetangga ikut serta. Namun, tak berapa lama, Hening kembali menelepon. Mengabarkan berita yang makin buruk. Kondisi Ibu makin kritis. Napasnya tak terasa. Detak jantungnya tak terdengar lagi. Dan nadinya tak menunjukkan kehidupan.
Tetangga yang menyetir makin mengencangkan laju mobil. Dia cemas, jangan sampai nyawa Ibu tak tertolong. Hening semakin gelisah. Air matanya kian deras membanjiri pipinya. Dia berusaha menyelamatkan ibunya. Akan tetapi, kehendak Tuhan berkata lain. Perjalanan jauh ditambah kondisi jalan yang tak mulus ikut mempengaruhi kondisi. Dan akhirnya, nyawa Ibu benar-benar tak terselamatkan lagi.
Hening menjerit tinggi. Istri Pak Kyai ikut lemas. Sang sopir pun lemas.
Spontan Hening mengabarkan kepadaku. Begitu mendengar berita itu, aku gundah gulana. Lunglai sekujur tubuhku.
Setiba di rumah sakit, Hening meraih tubuhku. Meledak tangisnya. Hancur perasaannya. Lalu pingsan di bahuku. Aku membopongnya. Berteriak-teriak memanggil petugas rumah sakit.
Suasana kacau. Jenazah Ibu didorong ke kamar mayat. Sementara aku masih menyadarkan Hening. Pak Kyai mengurus administrasi rumah sakit. Tetangga mengabarkan kepada para tetangga lain untuk menyiapkan segala sesuatunya menyambut jenazah Ibu.
Sesaat kemudian, Hening siuman. Dia kembali meronta, memanggil-manggil ibunya. Aku mendekap erat tubuhnya. Berusaha menyadarkan dan menenangkannya. Kucoba kalahkan tenaga Hening yang kalap. Akhirnya dia melemah. Lalu, tertidur pulas.
***
            Seisi desa gempar menyaksikan sang kepala desa beserta istri digiring polisi. Hiruk-pikuk suara warga menyoraki. Mereka merasa puas. Merasa menang. Ketenangan dan ketenteraman sebentar lagi mewarnai kehidupan desa. Ya, kehidupan desa, yang jauh dari kota.

Hadi Sastra
2014

Dimuat di surat kabar Cakrawala, Makassar Sulsel, edisi Sabtu (4/10).

      
oleh: Tika D. Pangastuti


Taman Baca Anak Matahari (TBAM) Setu-Tangsel ini baru ada pada januari 2014. Taman baca yang diperuntukan untuk anak dan remaja ini mulai diminati keberadaannya yang menyatu dengan alam. Bukan tanpa alasan, kampung Setu, yang asri dikelilingi pohon-pohon rindang ditengah perkampungan yang juga dibatasi oleh sebuah anak sungai, yang mendorong taman baca ini diminati keberadaannya.
Awalnya taman baca ini hanya memiliki koleksi beberapa buku saja. Pembuatan saung untuk meletakkan buku-buku dilakukan secara gotong royong dengan alat-alat seadanya. Kemudian adanya kegiatan secara rutin mendorong masyarakat semakin mengetahui keberadaan taman baca anak matahari ini. Lalu beberapa ada yang memberikan sumbangan buku-buku maupun alat tulis secara sukarela.
Beberapa kegiatan yang sudah dilakukan TBAM, antara lain: Belajar sablon, belajar angklung, berkemah, seminar motivasi, mengenalkan permainan tradisional, dan masih banyak lagi. Tidak hanya berkumpul di sinipun turut menanamkan nilai-nilai gotong royong dalam kesederhanaan. Seperti membersihkan lingkungan yang disekitar taman baca, musyawarah dalam menentukan kegiatan apa yang harus dilakukan, dan membuat saung secara gotong-royong.
Tentu kita belajar dari potret taman baca anak matahari (TBAM) Setu ini dengan kebersamaan dalam kesederhanaan, berusaha belajar dengan kesadaran berkelompok dan tanggung jawab.
Bagi yang ingin berkontribusi menyumbangkan buku-buku, alat tulis, berbagi ide-ide kratif dan yang bersedia membagi pikiran-pikirannya, langsung datang ke Jl. Puspitek Raya Kp. Setu Gg Masjid Rt 17/04 No. 35 kel. Setu Kec. Setu Tangsel-Banten 15314. Atau hubungi Shandy (083-898-729-909) pin 76396E1A. dapat diakses twitter: @tba_matahari. Facebook: Taman Baca Anak Matahari.






Oleh HADI SASTRA



Menulis merupakan kegiatan mengemukakan gagasan secara tertulis. Sebuah tulisan pada hakikatnya adalah representasi bunyi-bunyi bahasa dalam bentuk visual menurut sistem ortografi tertentu.  Banyak aspek bahasa lisan seperti nada, tekanan irama serta beberapa aspek lainya tidak dapat direpresentasikan dalam tulisan. Begitu juga halnya dengan aspek fisik, seperti gerak tangan, tubuh, kepala, wajah, yang mengiringi bahasa lisan tidak dapat diwujudkan dalam bahasa tulis. Oleh karena itu, dalam mengemukakan gagasan secara tertulis bisa menggunakan bentuk tertentu. Betuk-bentuk tersebut secara umum dapat dikembangkan dalam empat bentuk, yaitu: narasi, ekposisisi, deskripsi, dan argumentasi.
Dalam hal ini penulis mencoba untuk menguraikan sedikit tentang tulisan berbentuk narasi.
Narasi
          Tulisan narasi (berasal dari naration berarti bercerita) adalah suatu bentuk tulisan yang berusaha menciptakan, mengisahkan, dan merangkaikan tindak tanduk perbuatan  manusia  dalam sebuah peristiwa secara kronologis atau berlangsung dalam suatu kesatuan waktu.
         Narasi bertujuan menyampaikan gagasan dalam urutan waktu dengan maksud menghadirkan di depan mata angan-angan pembaca serentetan peristiwa yang biasanya memuncak pada kejadian utama. Narasi merupakan betuk percakapan atau tulisan yang bertujuan menyampaikan atau menceritakan rangkaian peristiwa atau pengalaman manusia dari waktu ke waktu. 
         Menurut Keraf (1987:136), tulisan narasi merupakan suatu bentuk karangan yang sasaran utamanya adalah tindak tanduk yang dijalin dan dirangkai menjadi sebuah peristiwa yang terjadi dalam suatu kesatuan waktu. Atau dapat juga dirumuskan dengan cara lain; narasi adalah suatu bentuk karangan yang berusaha mengambarkan sejelas-jelasnya kepada pembaca suatu peristiwa yang telah terjadi.

        Secara sederhana narasi merupakan cerita. Pada narasi terdapat peristiwa atau kejadian dalam suatu urutan waktu. Di dalam kejadian itu ada pula tokoh yang menghadapi suatu konflik.
         Menurut Keraf (1982:3), tulisan narasi merupakan salah satu tulisan yang dapat dijadikan alat untuk menyampaikan pangetahuan atau informasi kepada orang lain. Narasi melakukan penambahan ilmu pengetahuan melalui jalan cerita, bagaimana suatu peristiwa itu berlangsung. Karena lebih menekankan jalannya peristiwa, reproduksi masa silam merupakan bidang utama sebuah narasi. Seseorang dapat menginformasikan sesuatu kejadian atau peristiwa pada orang lain dengan latar belakang kejadian yang nyata maupun rekaan.
Dalam menulis, seorang penulis dituntut mampu membedakan antara narasi dan deskripsi. Narasi mempunyai kesamaan dengan deskripsi, yang membedakannya adalah narasi mengandung imajinasi dan peristiwa atau pengalaman lebih ditekankan pada urutan kronologis. Sedangkan deskripsi, unsur imajinasinya terbatas pada penekanan organisasi penyampaian pada susunan ruang sebagai mana yang diamati, dirasakan, dan didengar. Oleh karena itu, perlu diperhatikan unsur latar, baik unsur waktu maupun unsur tempat.  Dengan kata lain, pengertian narasi itu mencakup dua unsur, yaitu perbuatan dan tindakan yang terjadi dalam suatu rangkaian waktu.
Ciri-Ciri Tulisan Narasi
            Setiap tulisan mempunyai ciri tertentu. Adapun ciri-ciri tulisan narasi, yaitu:
1)      berupa cerita tentang pengalaman manusia;
2)      kejadian atau peristiwa yang disampaikan dapat berupa peristiwa atau kejadian yang benar-benar terjadi, dapat pula berupa semata-semata imajinasi, atau gabungan keduanya;
3)      bedasarkan konflik. karena, tanpa konflik biasanya narasi tidak menarik;
4)      memiliki nilai estetika karena isi dan cara penyampainya bersifat sastra, khususnya narasi berbentuk fiksi;
5)      menekankan susunan kronologis (catatan: deskripsi menekankan susunan ruang); dan
6)      biasanya memiliki dialog.

Tulisan narasi bisa berisi fakta bisa pula berisi fiksi atau rekaan yang direka atau dikhayalkan oleh penulisnya. Narasi yang berisi fakta adalah biografi, otobiografi, kisah sejati, dan lain-lain. Sedangakan narasi yang berisi fiksi seperti novel, cerpen, dan cerita bergambar
Selain itu, menurut Semi (2003:31), narasi juga dibagi atas dua jenis, yaitu: 
a.   narasi informatif, yang sering disebut pula narasi ekspositoris, yang pada dasarnya 
     berkencenderungan sebagai bentuk ekposisi yang berkecenderungan memaparkan informasi 
     dengan bahasa yang lugas dan konfliknya tidak terlalu kelihatan. 
b.  narasi artistik,  narasi ini  umumnya berupa cerpen atau novel.


Sumber :

Keraf, Gorys. 1987. Argumentasi dan Narasi. Jakarta: PT Gramedia.
            .       1982. Ekposisi dan Deskripsi. Cetakan Kedua. Jakarta: Nusa Indah.

Semi, M. Atar. 2003. Menulis Efektif. Padang: Angkasa Raya