Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan


Oleh :
Hadi Sastra

Sumber: Google

Matahari baru saja menyembul di balik awan yang mengambang di ufuk langit timur. Sepoi angin mengalun mengayun-ayunkan pepohonan. Kabut masih cukup tebal menyelimuti sekelilingku. Embun mengerucut di pucuk rerumputan di sepanjang bantaran kali. Gemericik air kali terdengar merdu menyejukkan kalbu. Kicau burung bersahutan menyambut pagi. Hamparan sawah menguning. Riuh suara warga mulai meramaikan waktu. Tampak jelas gunung menjulang tinggi di ujung tenggara. Sungguh luar biasa indahnya. Betapa menenteramkan suasana di awal hari. Betul-betul anugerah Tuhan yang sempurna.
Aku memulai aktivitasku. Setelah mandi, salat subuh, lalu mengeluarkan sepeda motor dan men-starter-nya untuk memanaskan mesinnya. Dilanjutkan merapikan perlengkapan kerja. Menyantap hidangan sekadar pengganjal perut. Hidangan yang selalu ada di meja kerjaku. Dikirim oleh seseorang yang setiap pagi menyempatkan diri datang ke tempatku. Seseorang yang begitu berarti bagiku. Yang telah menjadi belahan jiwaku. Mengisi hari-hariku. Menyertai perjalanan hidupku. Mewarnai lembaran kisahku. Selanjutnya, selesai sarapan, aku berpamitan kepada orang itu. Dan sepeninggalanku, dia kembali ke rumahnya. Begitulah, sekelumit rutinitas yang telah kugeluti selama sekian waktu.
Sepeda motor melaju membawaku menerobos kabut pagi menyusuri jalanan aspal desa menuju tempat tugasku. Sepanjang jalan, setiap warga yang berpapasan atau melihatku menyapa dengan ramah. Keramahan itulah yang menjadi spirit dan motivasi bagiku hingga aku semakin betah tinggal di tempat yang cukup jauh dari pusat kota ini. Tempat yang sebetulnya bukan tanah kelahiranku. Tempat yang telah aku tinggali selama lebih kurang tiga tahun semenjak pengabdian pertamaku sebagai seorang pendidik. Ya, aku memang seorang pendidik atau lebih sering disebut guru. Dan karena profesi itulah kemudian warga desa ini memanggilku Pak Guru.
Setiap pagi selalu saja kudapati sapaan warga. Seperti, ‘Selamat pagi, Pak Guru’. Atau, ‘Assalamu ‘alaikum, Pak Guru’. Ada juga, ‘Berangkat, Pak Guru’. Dan siangya, sepulang mengajar, kudapati juga sapaan. Seperti, ‘Selamat siang, Pak Guru’. Atau, ‘Pulang, Pak Guru’. Begitu hangat sapaan mereka. Penuh kesantunan. Bersahabat.
Aku merasakan nyaman tinggal di desa ini. Aku menemukan ketenangan dan kedamaian. Dan menganggap desa ini lebih dari kota asalku sendiri. Ikatan batinku sudah kuat terhadap tanah yang kupijak ini. Padahal, aku hanya tinggal mengontrak di rumah salah satu warga. Mungkin karena suasananya yang masih asri. Atau karena keramahan dan keluguan warganya. Mungkin juga karena memang aku tidak mau beranjak dari sini dan mencari tempat lain. Ataukah... hm... karena alasan lain, adanya seseorang itu. Ah... aku sendiri tak tahu pasti jawabannya.
Dulu, tahun pertama kehadiranku di sini, membawa memori yang tak akan terlupakan. Memori yang akan aku bawa sampai kapan pun, bahkan mungkin sampai ajal menjemputku kelak. Aku begitu rapat menyimpannya. Aku menikmatinya setiap kali kubuka lembar demi lembar memori manis itu. 
Kala itu, baru tiga bulan aku tinggal di sini. Kebetulan hari libur, seperti biasa aku menyempatkan diri berolahraga atau sekadar berjalan-jalan di pagi hari. Pelan-pelan kususuri jalanan dengan sawah di kanan-kirinya. Sesekali aku berhenti, menikmati eloknya pemandangan. Kuperhatikan kesibukan para petani menggarap sawahnya. Aku begitu asyik menikmatinya. Dan karena keasyikan itu, ketika berjalan kembali, tanpa sengaja aku menabrak seseorang. Ya, seseorang. Tepatnya, seorang gadis.
Aku terkejut. Salah tingkah. Bahkan sempat membisu. Gadis itu pun sama. Dia bahkan lebih salah tingkah. Terlihat sekali kekikukannya. Dan, tampak sekali kecantikannya di balik keluguan dan kesederhanaannya. Itulah yang kemudian menjadi magnit bagiku untuk berusaha mendekatinya. Aku tertarik untuk lebih mengenalnya. Bahkan, bukan hanya mengenal. Aku ingin mengetahui lebih jauh tentang dia. Betul-betul ingin mendalaminya. Akhirnya, aku berhasil mengetahui siapa gerangan dirinya.
Aku menjalin hubungan dengan gadis itu. Gadis yang telah menghamparkan kalbunya untuk menerimaku. Aku menemukan pelangi di sudut matanya. Aku merasakan kesejukan pada keanggunan wajahnya. Merasakan kehangatan pada seulas senyumnya. Merasakan ketulusan hatinya. Menikmati kesucian cintanya. Semua itu menjadi energi bagiku. Memompa semangatku. Ah, aku telah terpikat oleh pesonanya. Pesona gadis bernama Hening, yang tiap pagi mengantarkan hidangan untukku. Hidangan hasil olahan tangannya sendiri. Wanita lembut yang kemudian kupersunting. Putri tunggal dari keluarga sederhana. 
***
            Baru saja aku memarkirkan sepeda motor, tiba-tiba handphone-ku berbunyi. Kulihat siapa yang menelepon. Ternyata Hening.
Assalamu ‘alaikum,” sapanya, begitu lembut.
Wa ‘alaikum salam,” jawabku.   
“Mas...” suaranya terhenti. Terbaca olehku, ada sesuatu.
“Kenapa?” tanyaku.
“Bapak,” jawabnya dengan hati-hati.
Aku tersentak. Mulai panik.
“Ada apa dengan Bapak?” tanyaku mendesak.
Suara di seberang mulai parau. Terdengar isaknya.
“Bapak meninggal.”
Innalillahi wa inna ilaihi raji’un,” aku lemas. Terasa kencang detak jantungku.
Aku bergegas menemui kepala sekolah untuk meminta izin pulang. Setelah kujelaskan, akhirnya dizinkan. Kutancap gas menuju rumah calon istriku.
Sesampainya, kulihat kerumunan orang. Kuterobos kerumunan itu. Hening langsung menubrukku.
Kubuka kain yang menutupi wajah calon mertuaku. Kutatap dalam-dalam, terasa olehku pancaran ketenangan.
Kuhampiri ibu Hening yang sangat terpukul atas kepergian Bapak. Ibu bercerita sedikit tentang penyebab kematian Bapak. Menurutnya, Bapak ditabrak sepeda motor ketika sedang berjalan menuju sawahnya. Dan si pengendara langsung kabur begitu mengetahui ada warga yang mengetahui.
“Siapa orang itu, Bu?” tanyaku penasaran. Ingin segera kuketahui siapa pelaku yang telah merenggut nyawa Bapak. Dan akan kubuat perhitungan dengannya.
Ibu tampak berat mengungkapkannya. Setelah terus kudesak, akhirnya terbuka juga. Rupanya si pelaku bukan orang asing lagi. Dia masih tetangga. Aku kenal. Dia pemuda asli desa ini. Anak kepala desa. Bernama Jarot.
Jarot pernah menyukai Hening. Namun, pengungkapan perasaannya tak mendapat angin segar. Hening beralasan, dia merasa tak pantas. Tak sepadan. Keadaan ekonomi keluarganya ibarat langit dengan bumi. Orang tua Hening pun tak merestui. Hal itu dikarenakan mereka tahu persis watak dan perilaku Jarot dan keluarganya yang tidak baik. Perangai buruk keluarga pemimpin desa yang tak pantas diikuti warganya. Selalu mengedepankan keduniawian. Angkuh. Serakah. Jahat. Bermoral bejat.
Rupanya Jarot tak terima cintanya ditolak. Dia kalap. Mengancam. Segala cara akan dilakukan demi melampiaskan dendamnya. Beberapa kali berusaha menculik Hening. Beberapa kali pula mencoba memperkosanya. Selalu saja usahanya sia-sia. Tetapi, dia tak patah arang. Terus saja berupaya dengan berbagai cara. Cara-cara licik. Dan, aku menyimpulkan, mungkin itulah salah satu cara pelampiasannya. Menabrak Bapak di pagi buta.
Segera kuhampiri rumah Jarot. Dia tidak ada. Yang ada ayah dan ibunya. ‘Kebetulan sekali,’ pikirku.
Kucoba bersikap tenang menghadapi kedua orang itu. Aku sampaikan peristiwa yang menimpa ayah Hening. Kuatur kata-kataku. Kujaga sikapku. Itu karena yang kuhadapi adalah orang-orang terhormat di desa ini. Namun, yang kudapatkan justru pil pahit. Mereka menyangkal. Meradang. Bahkan balik menyerangku. Mengancam akan melaporkan kepada pihak berwajib atas tuduhan fitnah dan pencemaran nama baik.
“Kamu orang pendatang. Jangan bikin ulah di kampung ini,” hardik ayah Jarot, sang kepala desa, dengan sikapnya yang arogan. Mukanya merah. Matanya melotot tajam.
Istrinya ikut menimpali dengan ucapannya yang ketus, “Kamu tahu tidak siapa yang kamu hadapi?” Menunjuk ke arah mukaku.
Memang mereka setali tiga uang.
“Saya hanya menyampaikan kebenaran,” kataku.
Kepala desa angkuh itu memanggil tukang-tukang pukulnya.
“Pergi!” bentaknya.
Datanglah tiga orang tukang pukul. Mereka menyeretku. Mendorongku keluar. Dan mengusirku layaknya binatang.
Kulihat kepala desa makin beringas. Kembali dia mengancam akan melaporkan kepada pihak berwajib.
Aku tak gentar. Aku katakan bahwa aku juga akan melaporkan kasus ini. Sambil ku-starter sepeda motor.
Mereka makin meradang. Seorang tukang pukul menghampiriku. Mencengkeram leherku.
“Kalau mau selamat, jangan macam-macam!” ancamnya.
Aku menuju rumah Hening. Mengurus segala sesuatunya untuk pemakaman Bapak. Di tengah jalan, kulihat Jarot sedang nongkrong bersama teman-temannya. Beberapa botol minuman keras di hadapan mereka. Kuparkir sepeda motor. Kuhampiri dia.
Jarot yang sudah melihat kedatanganku, bersiap-siap. Kuperhatikan dia berbicara lirih kepada teman-temannya. Kontan mereka memasang kuda-kuda.
Ngapain kamu ke sini!” bentaknya. Mendekatiku.
Terpancing juga emosiku. Namun aku mencoba untuk tenang.
Teman-teman Jarot mengerubungiku. Salah seorang berkata kasar, “Mau jadi jagoan?!”
Aku masih diam. Mencoba mengatur napas.
Tiba-tiba sebuah bogem mentah Jarot mendarat di pipiku. Aku sedikit terdorong ke belakang. Seorang dari mereka menendang sepeda motorku hingga terguling.
“Keterlaluan,” kataku geram. Kukepalkan tanganku untuk membalasnya.
Dan sebuah pukulan melayang, tepat mengenai pipi kiri Jarot. Dia terhuyung.
Teman-teman Jarot mengeroyokku. Para preman kampung itu dengan ganas menyerangku. Aku terdesak. Beberapa pukulan kuarahkan kepada mereka. Tenaga kukerahkan untuk membentengi diri. Akan tetapi, tenagaku kalah kuat dengan tenaga mereka. Akhirnya aku pasrah. Aku tersungkur. Terus saja mereka menyerangku. Menghajarku. Menginjak-injakku. Sebuah balok menghantam keras wajahku. Darah mengucur dari hidung dan beberapa bagian tubuhku.
Aku tak sadarkan diri. Beberapa warga menolongku. Dan selanjutnya, yang kutahu, aku sudah berada di tempat tidur. Hening berada di sampingku. Matanya bengkak menahan isak tangis.
“Mas,” katanya begitu melihat aku mulai siuman.
Kucoba meraih wajah Hening. Namun tanganku terasa berat. Aku tak dapat berbuat banyak. Yang kubisa hanya menatapnya. Sambil menahan sakit di sekujur tubuh. Kulihat duka begitu dalam. Duka yang menyiratkan perjuangan dan pengorbanan.
Hening mengusap air mata yang mulai keluar dari sudut mataku. Sambil mengobati luka-lukaku. Mengelus-elus lembut pipiku yang lebam. Betapa kurasakan kesejukan. Kehalusannya tetap terpancar di balik kepedihan. Kami bergelayut dalam kemelut. Nuansa haru menyelinap ke relung kalbu. Dua insan berbalut romansa biru. 
***
            Laporanku kepada kepolisian ditindaklanjuti. Sebuah mobil patroli menuju rumah Jarot. Kebetulan dia ada. Bersama gerombolannya, para pecundang tengik. Kontan saja warga mengerumuni.
            Melihat kedatangan polisi, gerombolan itu berantakan. Berhamburan menyelamatkan diri. Memang mereka pecundang tengik. Betul-betul tengik. Pengecut.
Tinggal Jarot, terpaku seorang diri.
Keluarga Jarot keluar. Setelah terjadi adu argumen antara polisi dan mereka, akhirnya polisi berhasil membawa Jarot.
            Tak berapa lama, dua orang suruhan keluarga Jarot menemuiku di sekolah. Kebetulan aku sedang berada di dalam kelas. Mereka memaksaku keluar. Dan tanpa basa-basi lagi, mereka memukuliku di depan anak didikku. Mendadak suasana kacau-balau. Anak-anak didikku histeris. Kepala sekolah dan rekan-rekan guru, termasuk anak-anak didik yang lain berhamburan menghampiriku.  
            Mereka bergegas kabur.
            Kukontak Hening. Dia syok. Rupanya, dia pun mengalami masalah yang hampir sama. Beberapa menit yang lalu, orang-orang bayaran keluarga Jarot datang. Hening dan ibunya langsung menyelamatkan diri ke rumah Pak Kyai. Amanlah mereka di sana. Karena orang-orang itu balik lagi. Tak berani menghadapi kyai. Tak ada yang berani melawan kyai, termasuk kepala desa sendiri. Kyai begitu disegani warga desa. Kewibawaan kyai selalu dijaga.
            “Kalian tidak usah takut. Kami akan menjaga kalian,” ucap Pak Kyai, membawa angin segar.
            Hening dan Ibu gemetar. Saling berangkulan. Wajah mereka pucat pasi.
 Pihak sekolah segera bertindak. Memproses kasus yang menimpaku. Melaporkan kepada pihak atasan, Dinas Pendidikan. Melaporkan kepada polisi. Wartawan diundang.
Utusan Dinas Pendidikan dan wartawan datang. Disusul polisi. Mereka menginterogasiku.
Polisi menyampaikan bahwa mereka telah menangkap Jarot. Dan akan segera menangkap orang tuanya. Mereka melaju menuju rumah Jarot.
Aku diizinkan pulang ditemani seorang rekan guru. Yang kutuju adalah rumah Pak Kyai. Perasaanku tidak karuan. Ingin segera bertemu Hening dan Ibu. Setibanya, Hening memelukku. Hening begitu ketakutan. Begitu pun Ibu.
Pak Kyai menenangkan kami. Beliau berjanji akan melindungi kami. Selama beberapa hari Hening dan Ibu akan tinggal di rumah beliau. Istri Pak Kyai akan turut serta menjaga. Aku sungguh terbantu dengan ketulusan mereka. Aku diberi pilihan, apakah tinggal di situ atau tetap di rumahku. Dan kupilih untuk tetap tinggal di rumah. Namun, sesekali aku datang menjenguk Hening dan Ibu.
***
            Seorang tetangga, wanita setengah baya, bergegas menghampiriku ketika baru saja kumatikan sepeda motor.
“Aduh, Pak Guru,” katanya dengan napas tersengal-sengal.
“Ada apa, Bu?”
“Lebih baik Pak Guru pergi dulu.”
Aku menangkap firasat tidak baik.
“Tadi orang-orang Pak Kades ke sini. Mereka mengacak-acak rumah Bapak. Bahkan mau membakar,” katanya lagi, “Mereka bilang akan datang lagi.”
“Untung warga datang,” sambungnya.
Memang aku melihat kondisi rumahku sudah berantakan. Pintu jebol. Kaca depan pecah. Seisi rumah berantakan.
Para tetangga berdatangan. Sebagian membereskan rumahku. Sebagian lain mencoba menenangkanku. Memapah dan mendudukkanku.
Aku begitu emosi. Darah mudaku kembali memuncak. Wajahku memerah menahan amarah yang luar biasa.
Pak Kyai datang. Beliau juga geram. Mengutuk perbuatan keji itu. Ulah keluarga kepala desa yang busuk. 
Hening meneleponku. Mengabarkan berita buruk. Beberapa saat yang lalu Ibu mendadak jatuh. Segera dilarikan ke rumah sakit menggunakan mobil salah seorang warga. Maklumlah, desa ini cukup terpencil. Tak ada puskesmas, apalagi rumah sakit. Sehingga tak mudah untuk mendapatkan akses kesehatan. Puskesmas terdekat berada di kota kecamatan yang jaraknya cukup jauh, lebih kurang sepuluh kilometer. Jika menunggu mobil ambulance datang, bisa memakan waktu lama. Bisa-bisa malah membuat kondisi makin buruk.
Hening dan istri Pak Kyai turut mengantar ke rumah sakit.
Aku menenangkan Hening. Tak kuceritakan keadaanku yang sebenarnya. Bukan tanpa alasan, aku khawatir justru akan membuat suasana makin runyam.
“Kamu temani Ibu, nanti aku menyusul,” ucapku.
 Selanjutnya, aku dan Pak Kyai segera menuju rumah sakit. Beberapa tetangga ikut serta. Namun, tak berapa lama, Hening kembali menelepon. Mengabarkan berita yang makin buruk. Kondisi Ibu makin kritis. Napasnya tak terasa. Detak jantungnya tak terdengar lagi. Dan nadinya tak menunjukkan kehidupan.
Tetangga yang menyetir makin mengencangkan laju mobil. Dia cemas, jangan sampai nyawa Ibu tak tertolong. Hening semakin gelisah. Air matanya kian deras membanjiri pipinya. Dia berusaha menyelamatkan ibunya. Akan tetapi, kehendak Tuhan berkata lain. Perjalanan jauh ditambah kondisi jalan yang tak mulus ikut mempengaruhi kondisi. Dan akhirnya, nyawa Ibu benar-benar tak terselamatkan lagi.
Hening menjerit tinggi. Istri Pak Kyai ikut lemas. Sang sopir pun lemas.
Spontan Hening mengabarkan kepadaku. Begitu mendengar berita itu, aku gundah gulana. Lunglai sekujur tubuhku.
Setiba di rumah sakit, Hening meraih tubuhku. Meledak tangisnya. Hancur perasaannya. Lalu pingsan di bahuku. Aku membopongnya. Berteriak-teriak memanggil petugas rumah sakit.
Suasana kacau. Jenazah Ibu didorong ke kamar mayat. Sementara aku masih menyadarkan Hening. Pak Kyai mengurus administrasi rumah sakit. Tetangga mengabarkan kepada para tetangga lain untuk menyiapkan segala sesuatunya menyambut jenazah Ibu.
Sesaat kemudian, Hening siuman. Dia kembali meronta, memanggil-manggil ibunya. Aku mendekap erat tubuhnya. Berusaha menyadarkan dan menenangkannya. Kucoba kalahkan tenaga Hening yang kalap. Akhirnya dia melemah. Lalu, tertidur pulas.
***
            Seisi desa gempar menyaksikan sang kepala desa beserta istri digiring polisi. Hiruk-pikuk suara warga menyoraki. Mereka merasa puas. Merasa menang. Ketenangan dan ketenteraman sebentar lagi mewarnai kehidupan desa. Ya, kehidupan desa, yang jauh dari kota.

Hadi Sastra
2014

Dimuat di surat kabar Cakrawala, Makassar Sulsel, edisi Sabtu (4/10).

      



Pohon mangga cangkokan itu memang pendek. Sebab kependekannya itulah kami senang berkumpul dan bermain di rindangnya dedaunan mangga.

Sayang, pohon mangga itu tak lagi milik kami yang gemar membungkus buahnya dan dinamai satu persatu. Pohon itu dikurung oleh tuan pemakan tanah 300m/segi. 

Sebut saja Riri. Dia yang gemar menamai mangga yang sedang tumbuh. Kelak ketika mangga itu ranum, kami petik sesuai nama si pemilik. Tak ranum pun tak jadi masalah. Sungguh, dia penggemar mangga nan masam (dan aku membencinya).

Kembali ke pohon mangga. Hingga usia kami duapuluhan, mangga itu tetap berdiri lima meter. Tapi di belakangnya sudah berdiri taman kanak-kanak. Padahal ketika kanak-kanak tanah ini kosong. Kosongnya untuk bermain tap benteng, tap jongkok, kadang bintang tujuh. Sembari menunggu mangga ranum tentunya. 

Sebelumnya, ketika usia enambelas, Riri dan aku mulai jarang berkumpul. Aku pergi jauh. kerap merindukan rumah, pohon mangga dan juga Riri. Kita sudah mulai sibuk dengan buku-buku dan kawan-kawan baru serta ideologi yang mulai menyerang otak kanak-kanak kita.

Permainan baru pun dimulai. Masing-masing kita tinggal mengikuti letak di mana posisi kita berada. Sebab pohon mangga yang masih segar pendek polos nan kekanak-kanakan itu tak dapat lagi kita singgahi. 

Riri berpetualang pada dunianya sendiri. Begitu juga aku. Sempat kita bertemu sekadar mengetahui kematangan keperempuanan. Sekadar itu dan melanjutkan karaoke ria. Setelah itu menghilang kembali.

Duapuluhdua tahun usiaku. Setelah berpetualang dalam permainan lama, kini aku kembali ke rumah. Masih memandang pohon mangga cangkokan polos yang utuh kekanak-kanakkan. Sebab tembok di sekelilingnya sudah di poles dengan berbagai warna kekanak-kanakkan yang semakin menambah usia muda si pohon mangga.

Aku memandang dia, menanti kehadiran Riri agar kembali ke rumah setelah petualangan kita bertahun-tahun lamanya. 

Teman Riri, panggil saja Sasa, berkata bahwa Riri dalam masalah. Permainan barunya membawa ia dalam masalah. 

“Permainan itu memanggilnya, merayunya untuk tetap berada di dalamnya. Jika baik tak apa. Sayangnya ini sungguh buruk dan sangat buruk!” seru Sasa kepadaku. 

Riri mungkin tenggelam dalam permainan itu. Dia tak mengerti bagaimana cara mengakhiri permainan itu. Atau sudah mengakhiri namun masih asik. Atau juga sedang dalam masalah dengan para pemainnya! Ini gawat.

Lebaran tahun ini kamu pun tak kunjung datang. Padahal ibumu datang ke rumahku dan memohon banyak doa dari tetangga-tetangga, termasuk aku dan keluarga agar dia kembali. 

Seandainya saat kanak-kanak dulu aku adalah pemberontak. Aku relakan air mataku agar pohon mangga itu tetap jadi milik kita, bahkan milik orang-orang setempat. Sebab di pohon itulah kanak-kanak tetap jadi milik kita.

Hingga dewasa, permainan baru itu takkan pernah datang untuk mengahncurkan kanak-kanak kita dengan idealisme konyol. Aku berhasil keluar dari sana, sebab otakku masih terlampau pendek untuk menjadi tinggi. 

Dan aku tetap rindu pohon mangga yang akan ranum, meski hanya memandang saja. Sekarang aku menunggu Riri di teras rumah, yang berjarak lima meter dari pohon mangga.*

 
DARAH PEMBASUH LUKA

Oleh Made Adnyana Ole

Luka di lutut kiri Tantri tumbuh lagi. Mula-mula hanya bintik kecil dengan bunga nanah yang anggun. Tapi kemudian membesar. Bintik itu mengembang seperti gunung kecil dengan kawah nanah yang siap meledak jadi borok.

Tantri ngeri. Karena luka sekecil apa pun yang muncul pada lutut kiri adalah soal amat besar bagi hari-hari yang akan dilewatinya. Bukan hanya hebatnya sakit yang akan dirasakannya, namun lebih karena luka pada lutut kiri akan menyeret ingatannya kepada sebuah gumpalan waktu yang teramat kelam. Waktu, yang jika mampir dalam kotak ingatan, akan memberi Tantri sebongkah rasa sakit melebihi rasa sakit dari luka paling parah.

Gumpalan waktu yang kelam itu memang memberi tanda-tanda akan muncul kembali. Saat luka di lutut kiri Tantri benar-benar jadi borok, Bontoan tiba-tiba pamit dari rumah sembari menjinjing sebilah pedang. Hulu pedang yang dibalut sarung dari kulit sapi itu sempat diacungkan ke arah langit sebelum diselipkan di bawah jok mobil merah jenis jip tanpa atap. Mobil itu pinjaman dari seorang tokoh partai dan Bontoan boleh memiliki seutuhnya jika tokoh itu berhasil menjadi anggota Dewan pada pemilu tahun ini.

”Ke mana, Kak?” tanya Tantri.

”Ke Jalan Pahlawan. Ada spanduk dan gambar partai dirusak massa,” sahut Bontoan dingin. Lelaki itu melompat ke jok depan, menginjak gas dan mobil melesat di jalan menuju pusat kota.

Belakangan ini lelaki yang sudah tiga puluh tahun hidup bersamanya itu memang seperti preman kampung yang selalu siap membalas dendam, entah kepada siapa. Gelagat itu muncul sejak ia dipecat sebagai satpam di sebuah tempat hiburan malam di Kuta karena berkelahi dengan tamu. Usai dipecat, ia mengancam bekas bosnya dengan todongan pedang, tapi justru kemudian ia sendiri bonyok dikeroyok sepuluh orang. Belakangan diketahui pengeroyok itu anggota ormas yang cukup ditakuti di Bali.

Bontoan masuk rumah sakit. Keluar dari rumah sakit ia masuk penjara. Pengadilan memutuskan ia bersalah membawa senjata tajam dan melakukan pengancaman. Sedangkan para pengeroyoknya bebas karena dianggap membela diri. Keluar dari penjara, Bontoan dibujuk teman-temannya masuk ormas di Denpasar. Bontoan langsung mau. Ia mau karena ormas itu musuh dari ormas yang dulu mengeroyoknya. Tantri tahu ormas adalah organisasi kemasyarakatan yang dibentuk secara legal bahkan pengurusnya kerap dilantik Gubernur atau Bupati. Namun baginya ormas tak lebih dari himpunan massa yang kadar kekuatannya diukur dari seberapa banyak jumlah anggotanya dan tingkat kemasyurannya dihitung dari seberapa sering mereka berkelahi.

Sejak masuk ormas, Bontoan kerap keluar rumah tanpa kenal waktu. Kadang pamit kadang pergi begitu saja. Apalagi menjelang pemilu. Bontoan selalu keluar rumah membawa senjata tajam. Alasannya macam-macam tapi lebih sering berhubungan dengan partai. Ini karena ormas Bontoan memang disewa oleh sebuah partai politik dengan tugas mengawal tokoh-tokoh partai, mengamankan kegiatan partai sekaligus menjaga atribut-atributnya. Lelaki itu bersemangat dan selalu terkesan terburu-buru, karena ormas yang dulu pernah mengeroyoknya kini disewa oleh partai politik lain, sebuah partai yang menjadi saingan dari partai yang dibela Bontoan.

Kenyataan itulah yang membuat Tantri makin ngeri ketika Bontoan pergi membawa pedang untuk membela spanduk partai yang dirusak massa. Terutama karena situasi itu terjadi bersamaan dengan borok yang terus mengembang di lutut kirinya. Partai politik, massa, pedang dan luka di lutut kiri adalah hal-hal yang berhubungan dengan satu titik waktu paling kelam dalam riwayat hidup Tantri.

Luka di lutut kiri Tantri pernah muncul sekira tahun 1965. Saat itu ia baru kelas empat SD. Seperti saat ini, luka itu juga muncul dan tumbuh begitu saja. Tanpa diawali dengan goresan benda runcing semisal ranting kayu kering atau sisi pipih rumput ilalang. Tanpa dimulai dengan sayatan benda tajam semacam pisau dapur atau hulu kapak besi. Luka itu muncul begitu saja. Ibunya selalu rajin mengolesi luka Tantri dengan ramuan rempah dicampur tumbukan daun-daun semak. Bahkan Tantri sempat dibawa ke rumah mantri kesehatan di desa tetangga. Ia disuntik dan diberi salep. Tapi luka di lutut kiri Tantri tak kunjung sembuh.

Ketika luka itu jadi borok, Tantri seakan mengawali derita panjang di tengah kubang kutuk yang tak terelakkan. Awalnya ia masih bisa memaksa diri berjalan kaki ke sekolah, menempuh jarak tiga kilometer, dengan menyeberangi dua sungai berbatu, mendaki tiga bukit kecil dan menuruni tiga jurang di tengah-tengah hutan bambu. Meski ia harus menyeret paksa kaki kirinya, namun ia bisa melewati jalan-jalan sulit dengan hati gembira. Itu karena teman-teman sekolahnya selalu siap membantu sekaligus menghiburnya dengan lagu-lagu dolanan sepanjang perjalanan.

Seminggu berlalu, kaki kiri Tantri tak bisa digerakkan. Namun ia tetap ke sekolah. Ganggas–ayah Tantri–harus menggendongnya setiap pagi ke sekolah dan setiap siang saat pulang ke rumah. Ganggas seorang ayah yang kuat secara fisik dan mental sekaligus penyayang keluarga. Kekuatan tubuhnya membuat banyak orang takut, apalagi ia dikenal sebagai pelatih di sebuah perguruan bela diri milik Uwak Kajeng, seorang tokoh partai politik di wilayah kecamatan. Tantri terharu. Ayahnya yang ditakuti kini justru mengabdi sepenuh hari pada dirinya. Saat pagi, Tantri digendong ayahnya hingga masuk kelas. Ayahnya terkadang menunggu hingga Tantri duduk di bangku dengan nyaman. Begitu pelajaran dimulai, ayahnya pulang karena harus bekerja di sawah. Saat siang, ayahnya kembali ke sekolah, menjemputnya dari atas bangku lalu menggendongnya pulang. Namun lama-lama Tantri kasihan dan akhirnya minta berhenti sekolah.

”Kenapa berhenti? Ayah masih kuat menggendongmu!” kata Ganggas ketika Tantri mengutarakan keinginannya.

”Tantri malu. Tantri ingin sembuh!” kata Tantri. Ia memegangi kaki kirinya sembari mendongakkan kepala memandang ayahnya. Mata bocah itu berkaca-kaca.

Ganggas terhenyak. Keinginan Tantri membuatnya sadar bahwa selama ini ia lebih sering menyelesaikan persoalan dengan kekuatan tubuh, dan jarang menggunakan pikiran dan hati. Ia sadar betapa malu Tantri digendong setiap hari, meski sebagai ayah ia bangga bisa pamer kasih sayang kepada anak sekaligus pamer kekuatan tubuh di hadapan warga desa.

Ganggas kemudian menemui Uwak Kajeng, tokoh partai yang juga pemilik perguruan bela diri tempat ia menjadi pelatih. Selain memberi uang untuk biaya sewa mobil dan berobat, Uwak Kajeng juga memberi petunjuk untuk mengantar Tantri ke rumah dokter ahli penyakit kulit di Mengwi. Ganggas mengantar Tantri ke dokter itu. Tapi berkali-kali diobati, borok di lutut kiri Tantri tak juga sembuh. Ganggas datang lagi ke rumah Uwak Kajeng. Dengan mudah Ganggas mendapat uang dan ia disarankan mengantar Tantri ke rumah dukun di kaki Gunung Batukaru. Ganggas menurut. Di rumah dukun itu Ganggas mendapatkan penjelasan yang susah diterima nalar.

”Ini bukan luka biasa. Luka ini dikirim dengan kekuatan gaib oleh seseorang yang iri pada keluarga Bapak. Obatnya susah. Luka ini bisa sembuh jika dibasuh dengan darah manusia!” papar si dukun setelah memeriksa luka Tantri dengan cara aneh.

”Darah manusia?” Ganggas kaget. Tantri hanya mendengar.

”Ya. Itu pun darah dari manusia yang terluka atau mati tidak wajar!” tegas si dukun.

Dukun gila! Ganggas menyumpah dalam hati. Tanpa ingin mendengar penjelasan lebih lengkap lagi, Ganggas langsung mengajak Tantri pulang. Di rumah, Tantri melewati hari-hari dengan terbaring saja di kamar. Ibunya tetap rajin mengobati luka Tantri dengan ramuan rempah-rempah dan tumbukan daun semak. Namun borok itu tetap ada.

Ganggas putus asa. Ia jarang pulang dan lebih banyak mengurus perguruan bela diri. Saat ia sibuk merekrut murid dari berbagai desa, terjadi konflik politik. Ganggas diburu massa. Sebenarnya ia tak tahu politik. Namun sebagai pelatih bela diri di perguruan milik Uwak Kajeng, ia dianggap antek-antek Uwak Kajeng yang partainya tiba-tiba dicap pengkhianat bangsa. Uwak Kajeng sendiri menyerah lalu dijemput massa dan digiring entah ke mana. Sedangkan Ganggas menolak untuk menyerah. Ketika massa menyerbu perguruan, Ganggas sudah siap dengan pedang di tangan. Seorang diri ia hadapi massa yang jumlahnya lebih dari seratus orang.

Tantri yang terbaring di kamar kemudian mendengar kabar ayahnya terbunuh. Mayatnya diseret massa di jalan. Kepalanya pecah ditumbuk benda tumpul. Darah mengucur deras dan berceceran di jalan. Mendengar kabar itu, Tantri tersedu. Ia ingat kata-kata si dukun. Dan ia membayangkan darah ayahnya. Ketika mayat Ganggas digotong warga desa ke rumahnya, darah segar masih mengalir dari lubang luka di kepala. Tantri sempat bimbang. Namun dengan keluguan seorang bocah ia meraup darah itu dengan tangan lalu dibasuhkannya ke borok di lutut kiri.

”Maaf, Ayah! Maaf, Ayah!” kata Tantri berkali-kali sembari terus menangis. Warga desa, termasuk ibu Tantri, tak mengerti, dan hanya Tantri yang paham tentang apa yang sedang dilakukannya. Sehari setelah mayat Ganggas dikubur, borok di lutut kiri Tantri langsung kering dan tiga hari kemudian benar-benar sembuh. Namun Tantri merasakan sesak seakan dipukul rasa bersalah yang tak kunjung enyah hingga kini.

Kini, menjelang pemilu, borok yang muncul di lutut kiri Tantri menyeret kembali ingatan tentang ayahnya, Uwak Kajeng, dukun di kaki Gunung Batukaru, partai politik, massa, pedang dan tentu saja darah. Ingat semua itu, ia makin ngeri. Dan kengerian itu mencapai puncak ketika seseorang mengabarkan bahwa Bontoan terbunuh ketika sedang mengamankan atribut partai. Ia dikeroyok massa. Mayatnya diseret di jalan. Darah mengucur deras dari lubang luka di kepala.

Tantri berusaha menahan tangis. Ia memandang borok di lutut kirinya dengan tajam. Dan ia membayangkan darah suaminya.
CERPEN KOMPAS, MINGGU, 23 Februaru 2014
 
SUMBER: puisipilopoly.blogspot.com