Oleh Damar Juniarto
“Dalam dunia di mana dusta mendunia, berkata jujur adalah tindakan revolusioner” – George Orwell dari 1984
TEPAT hari ini 65 tahun lalu, pada 8 Juni 1949, novel distopian 1984
terbit melalui penerbit Secker and Wardburg, London. Penulisnya bernama
George Orwell yang belakangan baru diketahui merupakan nama pena dari
bekas opsir polisi di kerajaan Inggris bernama Eric Blair. Ia ditugaskan
di Burma.
Tak lama setelah novel itu terbit, pelbagai istilah menjadi jamak terdengar: Big Brother is watching you, Ministry of Truth, Room 101,
2 + 2 = 5, bahkan istilah Orwellian menjadi kata sifat yang populer
dipakai untuk menunjukkan bagaimana berita dipelintir oleh kekuasaan
yang otoriter. Apa pasalnya? Rupanya pembaca di Eropa sana terpengaruh
oleh kisah Winston Smith yang bekerja di kantor Kementerian Kebenaran (Ministry of Truth)
yang tugas utamanya adalah menuliskan kembali artikel koran masa lalu
agar sesuai dengan garis kebijakan partai penguasa. Setting novel itu
dimulai pada 4 April 1984, jauh melampaui keadaan pada saat ditulisnya.
Besarnya pengaruh novel ini, bahkan membuat majalah Time
mengganjarnya sebagai satu dari 100 karya novel Inggris terbaik sejak
1923 sampai 2005. Saya termasuk yang mengakui kehebatan karya fiksi ini
bersama sejumlah teman di kampus, sebut saja salah satunya Indra V.
Khrisnamurti, dan menjadikannya sebuah referensi manakala kita membahas
mengenai kondisi Indonesia pada tahun 1990-an.
Kami kemudian membentuk kelompok pembaca Orwell dan secara aktif
memperkenalkan Orwell dan karyanya lewat penerjemahan, diskusi,
pemutaran film. Indra berhasil menerjemahkan Down and Out in Paris,
sedang saya lebih banyak menerjemahkan esai dan artikel-artikel terkait
Orwell. Namun kami pikir kecintaan kami sungguh kalah militan bila
dibandingkan dengan masyarakat Burma/Myanmar yang banyak memanggilnya
sebagai Sang Nabi. Tentang hal ini, silakan baca penelusuran Emma Larkin
dalam buku Finding George Orwell in Burma. Saya pikir pasti itu berkaitan dengan novel Burmese Days dan 2 karya lain Orwell yang ditengarai tepat menggambarkan situasi Myanmar dewasa ini.
Kembali ke pengaruh novel 1984 pada kelompok kami. Kami
berdua kemudian aktif dalam organisasi kontra-hegemoni dan salah satu
tugas kami bergerak di jaringan anti-fasisme. Negara otoritarian dan
fasisme adalah dua entitas yang kami jadikan “musuh bersama”. Saat itu,
militer Indonesia masih terlalu campur tangan dalam urusan politik lewat
Dwifungsi ABRI dan dengan pengawasan teritorialnya.
Namun sungguh mengherankan, ketika lanskap politik sudah berubah
jauh, apalagi sejak militer menerapkan reformasi di dalam tubuhnya
sendiri, persoalan Orwellian ini tak lantas hilang di tahun 2014 ini.
Jika dulu Winston Smith diperankan oleh para operator di dalam Deppen
dan TNI yang bertugas mengontrol isi media agar selaras dengan
kepentingan Orde Baru dan seringkali melancarkan disinformasi, “dalam
praktik politik dewasa ini, Winston Smith diperankan oleh
aktivis/simpatisan partai tertentu serta juga kelompok media strategist
yang berperan sebagai konsultan politik untuk melakukan kerja
pendustaan/pembohongan publik.
Dan sebagaimana kisah Winston yang kemudian malah membelot dan
memutuskan untuk melawan Big Brother, pada akhirnya orang merasa muak
dan bersepakat untuk berjuang memberitakan kejujuran untuk melawan
kebohongan publik yang telah diproduksi massif oleh mesin politik ini.
Iya, di hari peringatan terbitnya novel 1984 ini, saya menyaksikan banyak orang memutuskan untuk mengambil bagian melawan bahaya Orwellian
dengan menyebarluaskan kejujuran. Dan saya kembali bangga akan
melakukannya lagi hari ini. Kejujuran memang harus diperjuangkan.
Sumber: Surah Sastra
0 komentar:
Posting Komentar