Oleh A. Zakky Zulhazmi
Azhari tampil memukau di kumpulan cerpen Perempuan Pala.
Tigabelas cerpen yang disajikan berhasil bicara tentang luka, penantian,
kehilangan dan kesedihan perempuan-perempuan Aceh di masa perang.
Kemasan buku itu sudah menawarkan teror sejak sampul depan: seonggok
luka nganga di telapak kaki. Di halaman persembahan Azhari menulis: untuk
perempuan Aceh, dari kampung manapun, yang sedang menunggu lelakinya
pulang. Kelak dari ingatan dan mulut kalian akan melahirkan banyak
cerita. Begitu mengharukan. Namun terbaca upaya untuk menguatkan. Terbaca pula alasan kenapa Azhari menulis cerpen lalu membukukannya.
Jika seorang bertanya ada apa dengan Aceh di masa itu? Jawabnya ada di kumpulan cerpen Perempuan Pala.
Buku itu adalah ode untuk Aceh dengan segala luka dan legendanya.
Sejarah dan darah yang tumpah. Para pesakitan dan kenangan yang gagal
dihapuskan.
Cerpen Yang Dibalut Lumut adalah contoh. Bagaimana kegetiran
kehilangan seorang ayah bersanding dengan penantian tak berujung.
Cerita dibuka dengan Ranie yang tersentak manakala hendak buang hajat di
sungai. Ia melihat ada yang mengapung bagai keranjang Musa, terlapik oleh sesuatu berwarna hijau. Seonggok jasad berbalut lumut. Mayat Mungkar. Orang yang ia kenal.
Ia lantas terkenang masa kecil. Saat mencari ikan di sungai bersama
kakek. Ikan untuk dijual atau ditukar galam dan belacan. Tidak untuk
dimakan sendiri. Sebab, bisa jadi ikan-ikan itu telah memakan
serpih-serpih daging dari tubuh-tubuh yang mengapung. Ya, di sungai itu
kerap ditemui mayat yang mengapung, tersangkut batu atau pohonan. Kakek
bercerita kepada cucunya siapa saja orang-orang itu. Cirinya,
orang-orang baik yang ditemukan mengapung di sungai selalu berbalut
lumut, tidak bau busuk.
Ranie kecil, meski sudah dilarang, sering curi-curi kesempatan
mengantongi ikan dan dibawa pulang. Dibakar lalu dibagi dengan kakak dan
ibunya. Ibuku gila, kata orang. Tapi orang gila juga perlu makan bukan?
Itulah humor satir ala Azhari. Kemudian diceritakan kenapa si ibu jadi
gila. Ia gila setelah suaminya, ayah Ranie, hilang diculik. Saban pergi
ke sungai Ranie takut kalau-kalau menemukan jasad ayahnya. Cerita
ditutup dengan kejutan: Ranie menjadi tentara, ia yang mengeksekusi
Mungkar.
Kiranya dapat dibayangkan gebalau yang terjadi di masa itu. Jika belum dapat membayangkan, sila baca cerpen Hikayat Asampedas. Bagaimana Nek Sani yang miskin begitu ingin memasak dan memakan asampedas, makanan khas Aceh yang terbuat dari krimen,
ikan laut dengan banyak tulang, dan bumbu rempah-rempah. Saking tak
punya apa-apa, Nek Sani mengumpulkan satu persatu bumbu untuk membuat
asampedas dari para tetangga.
Suatu waktu Nek Sani berhasil mengumpulkan bumbu-bumbu untuk membuat asampedas. Adapun ikan krimen
ia dapat dari Pawang Lemplok. Jadilah hari itu ia memasak asampedas.
Namun, belum juga asampedas matang sempurna, tiga orang datang menciduk
Nek Sani. Apa pasal? Nek Sani ketahuan menemui Pawang Lemplok yang
dimusuhi Orang Gunung lantaran dianggap sebagai kaki tangan penguasa.
Selesai membaca cerita ini boleh jadi kita akan teringat novel Ronggeng Dukuh Paruk
(Ahmad Tohari) atau cerita-cerita seputar tregedi 1965 lainnya. Tentang
orang-orang biasa yang tak tahu apa-apa tapi turut jadi korban.
Nyaris ketigabelas cerpen bercerita tentang Aceh dan duka penduduknya
di masa perang. Azhari seperti tidak bisa lapas dan terus dikuasai
Aceh. Ia terus menggali semampu ia menggali. Bercerita dan berkabar
tentang tanah kelahirannya. Azhari juga mengolah legenda Aceh. Piranti
untuknya bekisah tentang hal yang sama: luka. Olahan legenda tampak pada
cerita Perempuan Pala. Di cerpen itu ia eksplorasi legenda
naga dan lelaki tua, cerita tentang asal usul terjadinya Tapaktuan,
ibukota Kabupaten Aceh Selatan. Pada cerpen Pengunjung, Azhari
merujuk pada legenda Pengantin Batu, cerita dari Aceh Tengah. Dua cerpen
tersebut setidaknya menjadi gambaran berhasilnya Azhari menyerap
khazanah dongeng Tanah Rencong.
Di antara tiga belas cerpen yang tampil, terdapat tiga cerpen yang ditulis sangat pendek (Ikan dari Langit, Pengunjung, Menggambar Pembunuh Bapak).
Mungkin terkesan ekperimentatif. Atau mungkin cerita-cerita itu lebih
tepat disampaikan dalam format pendek. Bagaimanapun menulis cerita
sangat pendek adalah pertaruhan. Alih-alih memberikan impresi dengan
kependekannya, penulis bisa-bisa malah menyampaikan kekosongan lewat
cerpen yang terlampau pendek. Namun, membaca tiga cerpen pendek Azhari,
tahulah kita bahwa Azhari telah memenangkan pertaruhan itu.
Begitulah, kumpulan cerpen Perempuan Pala dengan baik
menampung kisah-kisah dari Aceh. Berbekal diksi-diksi segar dan olah
bahasa yang piawai, tidak salah jika kumpulan cerpen Azhari itu menjadi
yang terbaik di zamannya. Cerpen-cerpen di Perempuan Pala
pernah dimuat koran (Tempo, Kompas, Media Indonesia, Jawa Pos) di
kisaran tahun 2001-2004. Azhari lahir tahun 1981. Artinya, masa keemasan
Azhari, jika boleh dibilang begitu, terjadi saat usinya masih
sedemikian muda. Sayang jika tidak muncul buku kedua atau ketiga
darinya. Mari kita tunggu. (A. Zakky Zulhazmi).
Sumber: Surah Sastra
0 komentar:
Posting Komentar