Oleh Istiana Shalihati
Pohon mangga
cangkokan itu memang pendek. Sebab kependekannya itulah kami senang berkumpul
dan bermain di rindangnya dedaunan mangga.
Sayang, pohon
mangga itu tak lagi milik kami yang gemar membungkus buahnya dan dinamai satu
persatu. Pohon itu dikurung oleh tuan pemakan tanah 300m/segi.
Sebut saja
Riri. Dia yang gemar menamai mangga yang sedang tumbuh. Kelak ketika mangga itu
ranum, kami petik sesuai nama si pemilik. Tak ranum pun tak jadi masalah. Sungguh,
dia penggemar mangga nan masam (dan aku membencinya).
Kembali ke
pohon mangga. Hingga usia kami duapuluhan, mangga itu tetap berdiri lima meter.
Tapi di belakangnya sudah berdiri taman kanak-kanak. Padahal ketika kanak-kanak
tanah ini kosong. Kosongnya untuk bermain tap benteng, tap jongkok, kadang
bintang tujuh. Sembari menunggu mangga ranum tentunya.
Sebelumnya,
ketika usia enambelas, Riri dan aku mulai jarang berkumpul. Aku pergi jauh.
kerap merindukan rumah, pohon mangga dan juga Riri. Kita sudah mulai sibuk
dengan buku-buku dan kawan-kawan baru serta ideologi yang mulai menyerang otak
kanak-kanak kita.
Permainan
baru pun dimulai. Masing-masing kita tinggal mengikuti letak di mana posisi
kita berada. Sebab pohon mangga yang masih segar pendek polos nan
kekanak-kanakan itu tak dapat lagi kita singgahi.
Riri
berpetualang pada dunianya sendiri. Begitu juga aku. Sempat kita bertemu
sekadar mengetahui kematangan keperempuanan. Sekadar itu dan melanjutkan
karaoke ria. Setelah itu menghilang kembali.
Duapuluhdua
tahun usiaku. Setelah berpetualang dalam permainan lama, kini aku kembali ke
rumah. Masih memandang pohon mangga cangkokan polos yang utuh kekanak-kanakkan.
Sebab tembok di sekelilingnya sudah di poles dengan berbagai warna
kekanak-kanakkan yang semakin menambah usia muda si pohon mangga.
Aku memandang
dia, menanti kehadiran Riri agar kembali ke rumah setelah petualangan kita
bertahun-tahun lamanya.
Teman Riri,
panggil saja Sasa, berkata bahwa Riri dalam masalah. Permainan barunya membawa
ia dalam masalah.
“Permainan
itu memanggilnya, merayunya untuk tetap berada di dalamnya. Jika baik tak apa.
Sayangnya ini sungguh buruk dan sangat buruk!” seru Sasa kepadaku.
Riri mungkin
tenggelam dalam permainan itu. Dia tak mengerti bagaimana cara mengakhiri
permainan itu. Atau sudah mengakhiri namun masih asik. Atau juga sedang dalam
masalah dengan para pemainnya! Ini gawat.
Lebaran tahun
ini kamu pun tak kunjung datang. Padahal ibumu datang ke rumahku dan memohon
banyak doa dari tetangga-tetangga, termasuk aku dan keluarga agar dia kembali.
Seandainya
saat kanak-kanak dulu aku adalah pemberontak. Aku relakan air mataku agar pohon
mangga itu tetap jadi milik kita, bahkan milik orang-orang setempat. Sebab di
pohon itulah kanak-kanak tetap jadi milik kita.
Hingga
dewasa, permainan baru itu takkan pernah datang untuk mengahncurkan kanak-kanak
kita dengan idealisme konyol. Aku berhasil keluar dari sana, sebab otakku masih
terlampau pendek untuk menjadi tinggi.
Dan aku tetap
rindu pohon mangga yang akan ranum, meski hanya memandang saja. Sekarang aku
menunggu Riri di teras rumah, yang berjarak lima meter dari pohon mangga.*
Sumber: http://istiashali.tumblr.com
0 komentar:
Posting Komentar