Menunggu teman di Bawah Pohon Mangga




Pohon mangga cangkokan itu memang pendek. Sebab kependekannya itulah kami senang berkumpul dan bermain di rindangnya dedaunan mangga.

Sayang, pohon mangga itu tak lagi milik kami yang gemar membungkus buahnya dan dinamai satu persatu. Pohon itu dikurung oleh tuan pemakan tanah 300m/segi. 

Sebut saja Riri. Dia yang gemar menamai mangga yang sedang tumbuh. Kelak ketika mangga itu ranum, kami petik sesuai nama si pemilik. Tak ranum pun tak jadi masalah. Sungguh, dia penggemar mangga nan masam (dan aku membencinya).

Kembali ke pohon mangga. Hingga usia kami duapuluhan, mangga itu tetap berdiri lima meter. Tapi di belakangnya sudah berdiri taman kanak-kanak. Padahal ketika kanak-kanak tanah ini kosong. Kosongnya untuk bermain tap benteng, tap jongkok, kadang bintang tujuh. Sembari menunggu mangga ranum tentunya. 

Sebelumnya, ketika usia enambelas, Riri dan aku mulai jarang berkumpul. Aku pergi jauh. kerap merindukan rumah, pohon mangga dan juga Riri. Kita sudah mulai sibuk dengan buku-buku dan kawan-kawan baru serta ideologi yang mulai menyerang otak kanak-kanak kita.

Permainan baru pun dimulai. Masing-masing kita tinggal mengikuti letak di mana posisi kita berada. Sebab pohon mangga yang masih segar pendek polos nan kekanak-kanakan itu tak dapat lagi kita singgahi. 

Riri berpetualang pada dunianya sendiri. Begitu juga aku. Sempat kita bertemu sekadar mengetahui kematangan keperempuanan. Sekadar itu dan melanjutkan karaoke ria. Setelah itu menghilang kembali.

Duapuluhdua tahun usiaku. Setelah berpetualang dalam permainan lama, kini aku kembali ke rumah. Masih memandang pohon mangga cangkokan polos yang utuh kekanak-kanakkan. Sebab tembok di sekelilingnya sudah di poles dengan berbagai warna kekanak-kanakkan yang semakin menambah usia muda si pohon mangga.

Aku memandang dia, menanti kehadiran Riri agar kembali ke rumah setelah petualangan kita bertahun-tahun lamanya. 

Teman Riri, panggil saja Sasa, berkata bahwa Riri dalam masalah. Permainan barunya membawa ia dalam masalah. 

“Permainan itu memanggilnya, merayunya untuk tetap berada di dalamnya. Jika baik tak apa. Sayangnya ini sungguh buruk dan sangat buruk!” seru Sasa kepadaku. 

Riri mungkin tenggelam dalam permainan itu. Dia tak mengerti bagaimana cara mengakhiri permainan itu. Atau sudah mengakhiri namun masih asik. Atau juga sedang dalam masalah dengan para pemainnya! Ini gawat.

Lebaran tahun ini kamu pun tak kunjung datang. Padahal ibumu datang ke rumahku dan memohon banyak doa dari tetangga-tetangga, termasuk aku dan keluarga agar dia kembali. 

Seandainya saat kanak-kanak dulu aku adalah pemberontak. Aku relakan air mataku agar pohon mangga itu tetap jadi milik kita, bahkan milik orang-orang setempat. Sebab di pohon itulah kanak-kanak tetap jadi milik kita.

Hingga dewasa, permainan baru itu takkan pernah datang untuk mengahncurkan kanak-kanak kita dengan idealisme konyol. Aku berhasil keluar dari sana, sebab otakku masih terlampau pendek untuk menjadi tinggi. 

Dan aku tetap rindu pohon mangga yang akan ranum, meski hanya memandang saja. Sekarang aku menunggu Riri di teras rumah, yang berjarak lima meter dari pohon mangga.*

0 komentar:

Posting Komentar