Riungan at Dapoer Sastra Tjisaoek

Oleh Tika D. Pangastuti









     Menggembirakan tentunya bagi penikmat sastra bila berbincang-bincang langsung dengan para seniman dan sastrawan. Abah Yoyok begitulah kira-kira sapaannya, yang mementoring kita semua untuk kembali mengapresiasi puisi, yang kali ini penulisnya adalah Mas Handoko F. Zainsam. Beliau baru saja menerbitkan antologi puisinya yang berjudul Nang, Ning, Nung, Gong.
      Riungan sastra ini sekaligus sebagai agenda terakhir untuk menyambut datangnya Bulan suci Ramadhan. Diawali makan bersama, diskusi, serta apresiasi puisi, acara riungan ini berjalan dengan lancar. Kendati diiringi gerimis, tak menyurutkan niat teman-teman penggiat sastra untuk datang dan mengisi acara hingga usai.
        Ada pepatah Jawa yang saya ingat, Mangan ra mangan anggere ngumpul (makan tidak makan, asalkan berkumpul). Saya memaknai nya seperti ini kira-kira, meskipun diantara teman-teman memiliki kesibukan masing-masing, tak ada alasan untuk tidak bersilaturahim, menyambung tali kasih (asah,asih dan asuh). Riungan sastra ini secara langsung melestarikan kearifan lokal agar tidak tergerus dengan zaman yang semakin modern.
       Abah Yoyok sendiri mengatakan seperti ini “Untuk bisa berkarya dengan baik, segala sesuatunya berangkat dari kegelisahan. Berawal dari kegelisahan ini nantinya melahirkan sebuah karya atau apapun namanya. Setelah kegelisahan timbul, kita kan bersikap Nang (tenang). Jiwa tenang dan hati tenang yang nantinya kita mampu menuntun kita untuk membuka mata hati dan pikiran untuk melahirkan sebuah karya. Lalu ketenangan akan sampai pada Ning (hening). Dalam hening sebagai penyair maupun seniman akan melakukan evaluasi diri, dimana kekurangannya dan lain sebagainya. Semakin keheningan kita kuasai tibalah yang namanya Nung (merenung), merenungkan apa yang menjadi kegelisahan.Inilah suatu proses bagi seniman maupun penyair merasakan sebuah kerinduan akan pensejatian diri.”
 
Sependapat dengan Abah Yoyok, pemahaman saya seperti ini: Kata Nang Ning Nung merupakan kata yang tidak dapat dipahami secara hurufiah saja, melainkan mesti dipahami secara historis dan filosofis. Karena tentu sangat menarik apabila hal ini kita kaji dari sudut aneka ilmu pengetahuan dan epistemologi.
     Menanggapi puisi Nang Ning Nung mas Handoko F Zainsam aku berpendapat bahwa untuk memahami puisi ini sebagai untuk pemahaman awal kita harus membaca Filsafat dan Teologi. Atau juga dapat kita pelajari Suluk Sasmita halaman pertama, Suluk Abdul Qadir Jailani, Suluk Siti Jenar, dan lain sebagainya. 
       Demikian pemahaman saya dalam riungan sastra minggu ini. Masih dinantikan untuk masukan-masukan terbaiknya  untuk perbaikan selanjutnya. terima kasih.


0 komentar:

Posting Komentar