Ilmu Ojo Dipek Dewe
Oleh Heru Cakiel
Bismillah,
Assalamualaikum,
Sabtu, 24 Mei 2014. Saya mendapatkan pengetahuan baru
dari menulis. Saya mengikuti sebuah riungan berupa diskusi Komunitas Sastra
Indonesia. Diskusi itu diisi dengan materi tentang menulis, yang dibawakan oleh
narasumber kami yang bernama Mustofa Ismail seorang sastrawan sekaligus
Redaktur Tempo. Berikut materi yang disampaikan beliau, saya paparkan berupa
tulisan dengan gaya bahasa sendiri.
Ketika kita membaca, mendengarkan orang berbicara,
memperhatikan sesorang menyampaikan sebuah informasi, ada baiknya kita tulis
apa yang kita terima. (Seperti saya ini, hehehehe) J.
Dengan menulis apa yang kita terima, kita sama saja
membagi-bagi ilmu itu ke semua orang yang membaca tulisan kita. Selain itu,
kita sudah mengabadikan sebuah pengetahuan dengan tulisan kita.
Menulis, dapat meningkatkan kemampuan otak kita dalam
mengingat. Sama halnya, ketika kita hendak menulis sesuatu, kita akan menerka
dan memutar otak kita apa yang akan kita tulis. Dengan begitu, otak akan
terlatih untuk berpikir dan mengingat-ingat sebuah informasi dan pengetahuan
yang akan kita tulis.
Pada dasarnya, ketika kita hendak menulis, kita harus
banyak baca. Dengan begitu, kita bisa banyak tahu (bukan sok tahu) dan kita tak
kehabisan bahan untuk menulis. Karena, dengan membaca, kita akan mendapatkan
pengetahuan tanpa batas.
Kekreatifan menulis, kita hendaknya mengandalkan sebuah pengetahuan tanpa
batas, seperti sebuah imajinasi.
Imajinasi sendiri ada dua macam, yaitu imajinasi fiksi
dan imajinasi ilmiah atau nonfiksi. Imajinasi nonfiksi pada umumnya, dibatasi
oleh logika keilmmuan. Karena, sudah ada dasarnya, dan nonfiksi pada umumnya
sesuai dengan keadaan realita. Berbeda dengan imajinasi fiksi, terkadang
imajinasi fiksi dapat menabrak logika. Imajinasi ini dapat menembus kelogikaan
pada umumnya. Seperti ada bangunan di atas awan tanpa pilar. Hal ini dapat kita
jumpai pada karya-karya fiksi.
Ada asas-asas nonfiksi, diantaranya adanya sesuai standar
logika umum, berisi ilmu yang sudah dikonvensionalkan, dan menggunakan logika
ilmiah. Dan sebaliknya pada nonfiksi. Yang menggunakan luar batasan logika
umum, ilmu baru atau lama, dan logika sesuai kehendak penulis. Seperti contoh
pada sebuah cerpen. Walaupun cerpen realis, tetapi ttidak terikat pad logika.
Itulah fiksi.
Ada tips-tips dalam menulis sebuah cerpen, puisi, novel,
atau tulisan lainnya.
Gunakan hal-hal baru. Jangan gunakan ide yang sudah pernah ada dalam
tulisan itu. Bagaimana cara menulis hal-hal yang baru?
Baca!
Baca itu kuncinya. Seperti yang saya jelaskan sebelumnya,
membaca merupakan sebuah gudang ilmu dan membuka pengetahuan tanpa batas.
Memberikan wawasan yang sebelumnya kita ketahui menjadi kita ketahui.
Malas. Hal inilah yang membuat kita mati ide. Dan hal ini
yang dijadikan alasan untuk tidak menulis. Karena, menulis itu sendiri
merupakan kerja tetapi juga belajar. Sehingga kita menemukan hal yang baru.
Sesorang berkata pada diskusi tersebut, yaitu Pak Abu
Ali. Beliau berkata bahwa berkarya itu gagasan sendiri yang baru.
Saya setuju dengan perkataan beliau, sehingga menghindari
kita untuk plagiatisme. Dan kita dalam berkarya jangan takut. Berkarya,
berkarya, dan berkarya terus. Masalah salah atau benar, itu urusan belakang.
Yang penting kita sudah mencoba. Karena, hidup kita itu sebuah proses, dan proses
itu adalah sebuah pembelajaran.
Saya pun ikut menimbrung, “Percuma membaca saja tapi
nggak ditulis.”
Kalau orang Jawa menyebutnya, “Ilmu dipek dewe.” Artinya,
ilmu hanya untuk dia sendiri, padahal kita juga perlu untuk berbagi ilmu ke
orang lain. Walaupun tidak secara lisan, kita bisa gunakan secara tulis. Yaitu
dengan tulisan kita, maka banyak orang yang membaca tulisan kita, dan banyak
orang yang mendapatkan ilmu dari kita. balasannya adalah pahala. J.
Bukan hanya pahala, bisa jadi kita dapat penghargaan
entah itu materi maupun nonmateri. Tapi kita haram untuk memikirkan imbalan,
anggap saja imbalan itu sebuah bonus untuk kita.
Pak Mustofa juga menambahkan, menulis dan berkarya itu
membutuhkan sebuah kepekaan. Seperti contoh: ada sebbuah gelas mineral dalam
kemasan. Kita melihat dan mengatakan bukan hanya,“Itu segelas air mineral.”
Kita juga harus membaca dan merenungkan sisi cerita dari segelas air mineral
itu. Seperti siapa yang memasukkan air mineral itu dalam kemasan. Bagaimana
keadaan buruh pabrik itu. Bagaimana dampak dari limbah pabrik itu. Kita telisik
terus menerus, hingga kita menemukan sesuatu yang baru dari dalam segelas air
mineral dalam kemasan itu.
Teknik menulis, agar tulisan kita dipandang orang. Sekali
lagi, baca. Bacalah karya orang-orang yang tulisannya sudah diakui sebagai
tulisan hebat. Pelajari bagaimana penulis ini berproses dalam menulis.
Seperti saat kita menginginkan agar menulis puisi atau
cerpen, agar karya kita dimuat di koran Nasional seperti Kompas atau Tempo.
Kita harus sering baca puisi atau cerpen di koran Kompas atau Tempo hari
Minggu. Hal itu dapat membantu kita dalam menemukan, “Ow, kayak gini toh, karya
yang diterima koran.”
Selain itu, jika kita masih penulis pemula seperti saya,
jangan kemakan oleh teori-teori kepenulisan. Bisa-bisa kita kebanyakan mikir
dan takut untuk menulis, kapan menulisnya jika kita selalu takut? Akhirnya
tidak jadi menulis.
Dan yang terpenting, jadilah diri sendiri. Karena dengan
kita percaya pada diri kita, pada karya kita maka orang juga akan percaya
dengan karya kita.
Pada kaidah cerpen, ada unsur gagasan baru, konflik,
drama, suspend (ketegangan), dan kejutan. Dengan adanya salah satu dari unsur
itu, maka karya kita masih layak untuk dibaca dan dimuat di koran.
Ok. Itu ilmu yang saya terima hari ini. Semoga bermanfaat
dan membuat motivasi para pembaca untuk menulis. J.
Ada bonus dari saya, teknis kita mengirim karya kita ke
media:
1. Pahami karakter media. Seperti Kompas, biasanya memuat karya apa, atau
Tempo biasanya memuat karya bagaimana. Jangan kita salah alamat, seperti
mengirim karya remaja, kita kirim ke koran yang biasanya dibaca kalangan atas.
2. Panjang cerpen pada umumnya 8000 sampai 12000 karakter.
3. Jika kita pertama mengirim karya ke suatu media, lampirkan juga Scan
identitas diri, seperti KTP.
4. Tulis narasi biodata kita.
5. Pada umumnya, Kompas jangka waktu 3 bulan. Jika dalam waktu 3 bulan setelah
pengiriman karya ke media, tetapi belum juga dimuat, berarti karya kita belum
lolos. Dan biasanya, untuk Tempo jangka waktunya sebulan.
6. Haram untuk berputus asa. Tetap berkarya dan rutin mengirim.
7. Lampirkan dalam 1 file.
Ternyata masih ada yang dibahas. J
Dalam menulis prolog dalam sebuah cerita, setidaknya kita
beri unsur dramatis, ketegangan, atau konflik. Dengan begitu, pembaca atau
editor media akan penasaran dan memiliki keinginan untuk memabacanya terus.
Email media Tempo dan Kompas. Saya dapat dari Pak
Mustofa, yaitu:
Untuk esai, dapat dikirim ke pendapat@tempo.co.id
Jika kita menulis sebuah opini atau esai, kita fokusin satu bidang atau
satu pembahasan. Jangan hari ini menulis budaya, besok politik. Itu akan
menggambarkan kita tidak konsisten. Dan kefokusan kita akan terpecah belah.
Nah, ada info lagi nih. Kompas akan mengadakan workshop,
dan bagi siapa yang cerpennya terpilih, akan mendapatkan tiket gratis dari
kompas.
Satu tambahan lagi, gunakan diksi baru untuk menulis sebuah puisi. Hal itu
dapat membantu agar puisi kita diterima oleh media.
Ok. Cukup informasi dari saya. Terimakasih kepada Pak
Mustofa yang banyak membagi ilmunya hari ini. Dan juga terimakasih kepada
kawan-kawan KSI (Komunitas Sastra Indonesia) Tangsel yang sudah membuat acara
santai yang berbobot ini. J
Wassalam
0 komentar:
Posting Komentar